Langsung ke konten utama

Review Buku : ILMU MEMELUK ANAK

Review Buku : ILMU MEMELUK ANAK

...........
Cerita ini diawali dengan pertemuanku di tahun 1997 dengan beliau. Saat itu beliau baru saja kembali dai Amerika dan membawa oleh-oleh yang sangat berharga : sebuah semangat dan pemikiran baru tentang pengasuhan, yang saat itu belum kami pahami, apalagi kami lakukan.

...

Pelajaran pertama adalah memahami bahasa tubuh, mengenali perasaan. Awalnya mungkin terasa janggal, karena seolah kami menjadi "orang yang berbeda". Sapaan menjadi lebih bersahabat, mengawali interaksi dengan mendengar aktif :

"wajahmu terlihat begitu gembira", atau..
"kamu kelihatan sedang kurang nyaman, ya?"

Intinya adalah mencoba memahami perasaan orang lain, dengan memperhatikan bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan intonasi suara.

Hasilnya? Ajaib!
...........

Begitu lah ungkapan ibu Perwitasari, atau akrab disapa ibu Wiwit, yang berkesempatan dibimbing langsung oleh ibu Elly Risman dalam mendalami ilmu pengasuhan (parenting).

Ungkapan ini tertuang dalam buku Ilmu Memeluk Anak, yang disponsori oleh Wardah.

Kini, ibu Wiwit merupakan satu-satunya orang yang dipercaya oleh ibu Elly Risman untuk menggantikannya menjadi pelatih di pelatihan Komunikasi Benar, Baik, dan Menyenangkan (KBBM) juga melaksanakan kegiatan advokasi ke lembaga pemerintahan jika ibu Elly berhalangan.

Beragam kisah pengasuhan dari 28 orang lainnya tertuang dalam buku ini. Mereka tak hanya menceritakan kisah sukses, justru jatuh bangun dalam proses pengasuhan dari ilmu yang mereka punya, memperkaya cerita di dalam buku ini.


Ditulis Pada: 12 August 2016, Pukul: 08:32:04

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sarra Risman | Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi ‘anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa’, seperti doa-doa umum yang seri

Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi 'anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa', seperti doa-doa umum yang sering kita katakan ketika mendengar berita kelahiran seorang bayi. Dari saya kecil, ibu saya tampaknya sudah mengikuti 'developmental milestone' yang menjelaskan bahwa anak usia segini, seharusnya sudah bisa begini. Kami dapat tugas khusus masing-masing, seperti kakak jadi tukang cuci baju, saya ahli cuci kamar mandi, dan adik sapu dan pel. Tugas tersebut berotasi sesuai usia, kebutuhan, dan (karena kami hidup nomaden) tempat tinggal. Tentunya rumah di Amerika, yang tertutup karpet dari ujung ke ujung, tidak membutuhkan sapu dan pel. Tugas juga di bagi sesuai dengan kebutuhan, jadi ketika ramadhan tiba, dan pembantu pulang, kakak bertugas menyiapkan sahur, saya dan adik merapihkan setelah sahur. Siangan dikit kakak memasak, adik mencuci, saya tukang setrika. Sampai kesepakatan rotasi berikut...

Silmy Risman | #SilmyShares:

#SilmyShares: Bersyukur itu seperti cinta. Tidak banyak makna jika cuma berbentuk kata-kata. Ia lebih nyata jika ditunjukkan lewat perilaku dan sikap kita. Saya beri contoh ya. Kalau ada pasangan A, yang suaminya bilang "I love you deh Say.." setiap hari tapi sikapnya kasar atau bahasa tubuhnya tidak hangat dan sering nyindir atau marah.. Dan pasangan B yang suaminya jarang memberikan kata-kata cinta tapi sering senyum, suka memuji dan ringan dalam membantu urusan anak atau pekerjaan di rumah.. Dalam jangka panjang, pilih mana? Nah sama dengan bersyukur. Kalau cuma menyatakan diri sebagai hamba tuhan yang bersyukur tapi setiap hari mengeluh, iri, dan ngomongin orang... Mana syukurnya? Nggak dihitung dan pastinya (apalagi bagi orang-orang sekitar) tidak terasa. Syukur itu harus sempat. Jangan hanya dalam doa setelah shalat (yang kadang itupun masih suka telat hehehe). Mulai bersyukur dari hal-hal kecil; masih punya tempat tinggal, bisa garuk kalau gatal (bayangin kalo nggak ...

Wina Risman | Memasukkan anak sekolah:

Memasukkan anak sekolah: Untuk anak atau ibu? Iya, saya paham. 10 menit keheningan terkadang sangat diperlukan seorang ibu,untuk tetap waras. Apalagi mereka yang mempunyai dua balita dibawah satu atap. Rangkaian pekerjaan yang sudah tersusun rapi di otak, detik ketika kita bangun pagi, seakan sudah menjadi otomatis tersedia. Satu menyambung dengan yang lainnya, hingga tak terasa, sudah waktunya mentari tenggelam lagi. Bahkan, setelah malampun tiba, masih ada sederet dua benda tersisa yang mesti diselesaikan, sebelum akhirnya tubuh mendapatkan haknya untuk baring dan kaki untuk selonjoran. Iya saya paham. Hanya saja, berangkat dari kepenatan harian yang sudah menahun, membuat seorang ibu seakan-akan merasa punya alasan, kenapa buah hatinya mesti segera disekolahkan. Sudah bosan di rumah Biar belajar bergaul Menstimulus berbicara Belajar sharing dan bermain bersama Anaknya sudah minta dll, dll... Sebetulnya, jika ditanya, terutama pada ibu yang menyekolahkan anaknya diusia 3th atau sebe...