Langsung ke konten utama

Wina Risman | Memasukkan anak sekolah:

Memasukkan anak sekolah:
Untuk anak atau ibu?

Iya, saya paham. 10 menit keheningan terkadang sangat diperlukan seorang ibu,untuk tetap waras. Apalagi mereka yang mempunyai dua balita dibawah satu atap. Rangkaian pekerjaan yang sudah tersusun rapi di otak, detik ketika kita bangun pagi, seakan sudah menjadi otomatis tersedia. Satu menyambung dengan yang lainnya, hingga tak terasa, sudah waktunya mentari tenggelam lagi. Bahkan, setelah malampun tiba, masih ada sederet dua benda tersisa yang mesti diselesaikan, sebelum akhirnya tubuh mendapatkan haknya untuk baring dan kaki untuk selonjoran.

Iya saya paham.

Hanya saja, berangkat dari kepenatan harian yang sudah menahun, membuat seorang ibu seakan-akan merasa punya alasan, kenapa buah hatinya mesti segera disekolahkan.

Sudah bosan di rumah
Biar belajar bergaul
Menstimulus berbicara
Belajar sharing dan bermain bersama
Anaknya sudah minta
dll, dll...

Sebetulnya, jika ditanya, terutama pada ibu yang menyekolahkan anaknya diusia 3th atau sebelum 5th, jauh kedalam hatinya, sebetulnya alasan mengapa ia menyekolahkan sang buah hati, adalah untuk sekedar merasakan sedikit kenyamanan di rumah. Berkurangnya satu anak untuk beberapa jam, memang mampu mengurangi beban stress yang cukup lumayan. Namun, ia juga tahu, hal itu salah. Karena sang anak belum perlu untuk sekolah, apalagi dengan semua alasan yang tertera diatas. Akhirnya anakpun disekolahkan.

Semua riang..
Untuk dua-tiga hari pertama. Apalagi pas mencoba seragam tk, ada haru sesak dalam dada 'ah, sudah besar ternyata'.
Uang dikumpulkan, pendaftaran dibayarkan. Dimulailah hari pertama.

Oke oke saja..enjoy anaknya, hingga tiba di hari ketiga. Anak sudah mulai bosan sekolah, mulai menolak berangkat pagi-pagi. Menangis dan berulah. Ibu panik..kenyamanan yang sudah tergambar didepan mata, seakan lenyap pufff.. menguap begitu saja.

Uang sekolah yang sudah dibayarkan, harapan bahwa sang anak akan menikmati dan betah sekolah sebagaimana janjinya, berubah drastis 360•. Ibu kaget, panik..bingung .. dan tidak jarang marah.
Lalu mulailah sang ibu frustasi, bagaimana menghadapi semua ini?

Sebetulnya, malam setelah kejadian, jika sang ibu mau menelaah kembali hatinya, ia akan menemukan, bahwa memasukkan anaknya sekolah bukan untuk sang anak, namun untuk sedikit kenyamanan pribadinya.

Wina Risman


Di Tulis Oleh: Wina Risman
Pada: 11 August 2017, Pukul: 11:02:43

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sarra Risman | Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi ‘anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa’, seperti doa-doa umum yang seri

Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi 'anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa', seperti doa-doa umum yang sering kita katakan ketika mendengar berita kelahiran seorang bayi. Dari saya kecil, ibu saya tampaknya sudah mengikuti 'developmental milestone' yang menjelaskan bahwa anak usia segini, seharusnya sudah bisa begini. Kami dapat tugas khusus masing-masing, seperti kakak jadi tukang cuci baju, saya ahli cuci kamar mandi, dan adik sapu dan pel. Tugas tersebut berotasi sesuai usia, kebutuhan, dan (karena kami hidup nomaden) tempat tinggal. Tentunya rumah di Amerika, yang tertutup karpet dari ujung ke ujung, tidak membutuhkan sapu dan pel. Tugas juga di bagi sesuai dengan kebutuhan, jadi ketika ramadhan tiba, dan pembantu pulang, kakak bertugas menyiapkan sahur, saya dan adik merapihkan setelah sahur. Siangan dikit kakak memasak, adik mencuci, saya tukang setrika. Sampai kesepakatan rotasi berikut...

Silmy Risman | #SilmyShares:

#SilmyShares: Bersyukur itu seperti cinta. Tidak banyak makna jika cuma berbentuk kata-kata. Ia lebih nyata jika ditunjukkan lewat perilaku dan sikap kita. Saya beri contoh ya. Kalau ada pasangan A, yang suaminya bilang "I love you deh Say.." setiap hari tapi sikapnya kasar atau bahasa tubuhnya tidak hangat dan sering nyindir atau marah.. Dan pasangan B yang suaminya jarang memberikan kata-kata cinta tapi sering senyum, suka memuji dan ringan dalam membantu urusan anak atau pekerjaan di rumah.. Dalam jangka panjang, pilih mana? Nah sama dengan bersyukur. Kalau cuma menyatakan diri sebagai hamba tuhan yang bersyukur tapi setiap hari mengeluh, iri, dan ngomongin orang... Mana syukurnya? Nggak dihitung dan pastinya (apalagi bagi orang-orang sekitar) tidak terasa. Syukur itu harus sempat. Jangan hanya dalam doa setelah shalat (yang kadang itupun masih suka telat hehehe). Mulai bersyukur dari hal-hal kecil; masih punya tempat tinggal, bisa garuk kalau gatal (bayangin kalo nggak ...