Langsung ke konten utama

MENGASUH DALAM KEMISKINAN

MENGASUH DALAM KEMISKINAN

.
Di artikel hari Jumat lalu, kita sudah membahas bahwa salahsatu penyebab kenakalan pada anak adalah kemiskinan yang dialami oleh keluarga. Di artikel kali ini, kita akan membahasnya melalui pendekatan perkembangan otak.

Mari kita lihat fenomena yang umum terjadi dalam lingkungan miskin. Kata-kata kasar bertebaran, maraknya kasus tawuran, bahkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan suami terhadap istri, ibu terhadap anak bahkan bayi.

Masih ingat kasus kejahatan seksual yang keji yang dilakukan Emon dan dialami oleh Almh Yuyun? Mereka merupakan anggota masyarakat ekonomi bawah yang permasalahan hidupnya sungguh kompleks.

Bagaimana dengan perilaku zina yang dilakukan anak-anak SMA dengan bayaran pulsa? Terlalu banyak jika kita daftar satu persatu.

Benang merah dari semua fenomena itu adalah satu : kemiskinan.

Dalam pidatonya pada Oktober 2013, Hillary Clinton mengatakan bahwa terjadi "Vocabulary Gap" yang sangat besar antara anak dalam keluarga kaya dan keluarga miskin.

Studi telah menemukan bahwa pada usia 4 tahun, anak-anak di keluarga kelas menengah dan atas mendengar 15 juta kosa kata lebih banyak daripada anak-anak di kelas pekerja, dan 30 juta kosa kata lebih banyak daripada anak-anak dalam keluarga yang miskin.

Penelitian lain mengatakan, pada usia 3 tahun, anak-anak dalam keluarga kaya menguasai 1116 kosa kata, sedangkan anak dari kelas pekerja hanya 749 kosa kata, dan anak dari keluarga miskin hanya 525 kosa kata.

Hidup dalam kemiskinan, menurut Sandra Aamodt, dapat merusak otak anak kecuali bagi mereka yang ulet dan bagi keluarga yang melakukan pengasuhan dengan baik.

Kerusakan otak itu terjadi karena mereka hidup dalam kondisi stress kronis akibat ketidakamanan ekonomi (kondisi hidup yang tidak memadai), rumah tangga dan pengasuhan yang kacau karena efek samping stress kronis yang di alami orangtua, serta perlakuan sosial (inferioritas kelas bawah).

Pengasuhan yang tidak memadai bagi tumbuh kembang anak memanglah masalah yang tak mengenal strata sosial, namun lebih sering terjadi bagi kelompok masyarakat ekonomi bawah.

Pahamlah kita mengapa Abdullah Nashih Ulwan, dalam bukunya Pendidikan Anak dalam Islam menyatakan kemiskinan adalah salahsatu penyebab kenakalan anak. Paham pula mengapa zakat dalam Islam merupakan salahsatu rukun Islam. Zakat adalah kunci pengentasan kemiskinan yang diatur oleh sistem.

Bagaimana ini? Saya hidup dalam kemiskinan. Apakah otak saya dan otak anak saya sudah rusak?

Trainer kami, ibu Safitri Mursyid, M.Si, telah melakukan riset menggunakan materi pelatihan kami "Komunikasi Baik Benar dan Menyenangkan" untuk menunjukkan bahwa pengasuhan yang baik adalah salahsatu kunci pengentasan kemiskinan saat menyelesaikan tesisnya di Fakultas Psikologi UI.

Kabar baiknya, kemiskinan ini sebenarnya bersifat seperti busur panah. Orang-orang yang luar biasa ulet dan tangguh yang tumbuh di tengah kondisi sangat sulit, apalagi jika mereka diasuh dengan baik, mereka menjadi orang dewasa yang sangat sukses dalam ukuran duniawi dibandingkan orang kebanyakan.

Kemiskinan justru menjadi kesempatan stimulasi alami tumbuh kembang bagi anak.

IGA Partiwi, Dokter anak di RS Bunda Jakarta mengatakan bahwa fasilitas berlebihan yang diberikan pada anak justru menghalanginya dari kesempatan menjadi pribadi yang hebat. Anak membutuhkan tantangan untuk mengembangkan otaknya. Tak hanya bisa ini itu, tantangan membuat anak tahu kemampuan diri mereka, melatih mereka menjadi pribadi ulet dan tangguh, dan melejitkan kepercayaan diri bahwa "aku bisa".

Wah, saya diasuh dalam kemiskinan dan kekerasan, apakah otak saya sudah rusak?

Kemampuan mengelola stress menjadi kunci agar kemiskinan tidak menjadi jerat berduri yang menyebabkan kita mengalami stress kronis.

Selain itu, neurosaintis Sandra Aamodt dalam bukunya Welcome To Your Child Brain, menyatakan bahwa cara kita menafsirkan hidup berdampak kuat pada respon stress kita. Orang-orang yang puas dengan standar hidup mereka dan merasa aman secara ekonomi (orang-orang yang pandai bersyukur terhadap setiap liku hidupnya dan qanaah terhadap takdirnya), lebih sehat daripada orang-orang yang tidak puas dan cemas tentang masa depan, terlepas dari penghasilan, pendidikan, dan pekerjaan mereka yang sebenarnya.

Dalam konteks pengentasan kemiskinan, anak-anak merupakan harapan daya ungkit bangkitnya keluarga mereka dari palung kemiskinan. Kata kuncinya, pengasuhan yang baik akan meninggalkan kenangan yang indah dan menjadi motor bagi anak untuk menolong keluarganya dari jeratan kemiskinan turun temurun.

Jelmakan diri kita dan anak kita menjadi asa dengan melakukan pengasuhan yang benar, baik, dan menyenangkan, kepandaian mengelola stress, dan menjadi pribadi yang qanaah dan pandai bersyukur.


Ditulis Pada: 08 May 2017, Pukul: 23:49:00

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sarra Risman | Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi ‘anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa’, seperti doa-doa umum yang seri

Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi 'anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa', seperti doa-doa umum yang sering kita katakan ketika mendengar berita kelahiran seorang bayi. Dari saya kecil, ibu saya tampaknya sudah mengikuti 'developmental milestone' yang menjelaskan bahwa anak usia segini, seharusnya sudah bisa begini. Kami dapat tugas khusus masing-masing, seperti kakak jadi tukang cuci baju, saya ahli cuci kamar mandi, dan adik sapu dan pel. Tugas tersebut berotasi sesuai usia, kebutuhan, dan (karena kami hidup nomaden) tempat tinggal. Tentunya rumah di Amerika, yang tertutup karpet dari ujung ke ujung, tidak membutuhkan sapu dan pel. Tugas juga di bagi sesuai dengan kebutuhan, jadi ketika ramadhan tiba, dan pembantu pulang, kakak bertugas menyiapkan sahur, saya dan adik merapihkan setelah sahur. Siangan dikit kakak memasak, adik mencuci, saya tukang setrika. Sampai kesepakatan rotasi berikut...

Silmy Risman | #SilmyShares:

#SilmyShares: Bersyukur itu seperti cinta. Tidak banyak makna jika cuma berbentuk kata-kata. Ia lebih nyata jika ditunjukkan lewat perilaku dan sikap kita. Saya beri contoh ya. Kalau ada pasangan A, yang suaminya bilang "I love you deh Say.." setiap hari tapi sikapnya kasar atau bahasa tubuhnya tidak hangat dan sering nyindir atau marah.. Dan pasangan B yang suaminya jarang memberikan kata-kata cinta tapi sering senyum, suka memuji dan ringan dalam membantu urusan anak atau pekerjaan di rumah.. Dalam jangka panjang, pilih mana? Nah sama dengan bersyukur. Kalau cuma menyatakan diri sebagai hamba tuhan yang bersyukur tapi setiap hari mengeluh, iri, dan ngomongin orang... Mana syukurnya? Nggak dihitung dan pastinya (apalagi bagi orang-orang sekitar) tidak terasa. Syukur itu harus sempat. Jangan hanya dalam doa setelah shalat (yang kadang itupun masih suka telat hehehe). Mulai bersyukur dari hal-hal kecil; masih punya tempat tinggal, bisa garuk kalau gatal (bayangin kalo nggak ...

Wina Risman | Memasukkan anak sekolah:

Memasukkan anak sekolah: Untuk anak atau ibu? Iya, saya paham. 10 menit keheningan terkadang sangat diperlukan seorang ibu,untuk tetap waras. Apalagi mereka yang mempunyai dua balita dibawah satu atap. Rangkaian pekerjaan yang sudah tersusun rapi di otak, detik ketika kita bangun pagi, seakan sudah menjadi otomatis tersedia. Satu menyambung dengan yang lainnya, hingga tak terasa, sudah waktunya mentari tenggelam lagi. Bahkan, setelah malampun tiba, masih ada sederet dua benda tersisa yang mesti diselesaikan, sebelum akhirnya tubuh mendapatkan haknya untuk baring dan kaki untuk selonjoran. Iya saya paham. Hanya saja, berangkat dari kepenatan harian yang sudah menahun, membuat seorang ibu seakan-akan merasa punya alasan, kenapa buah hatinya mesti segera disekolahkan. Sudah bosan di rumah Biar belajar bergaul Menstimulus berbicara Belajar sharing dan bermain bersama Anaknya sudah minta dll, dll... Sebetulnya, jika ditanya, terutama pada ibu yang menyekolahkan anaknya diusia 3th atau sebe...