Langsung ke konten utama

“LIKE FATHER LIKE SON”

"LIKE FATHER LIKE SON"
Adalah ungkapan klasik yg sering kita dengar. Katanya anak tergantung orangtuanya. Apa yg ada pada anak kita, coba cek dulu apakah itu juga ada pada diri kita?
Misalnya saya. Ngga tau sejak kapan saya suka dengan ondel2.. dan.. sekarang anak saya tergila2 dengan ondel2..
Itu baru ondel2.. bagaimana dengan perilaku lainnya? Sikap? Mental? Ibadah? Kedisiplinan? Lupa waktu pas main hp? Males bangun? Wow!!!
Once more.. "Like Father Like Son!". Kenapa bisa begitu?
Pertama, kita adalah orang terdekat mereka. Jutaan kali ketemu lagi ketemu lagi. Kita ini significat other bagi mereka. Arti lainnya, sosok yg berpengaruh.
Anak mudah terpengaruh? Yap! Karena anak2 apalagi dibawah 5 tahun cenderung berpikir dg limbiknya (otak bagian emosi). Artinya, sangat amat mudah dipengaruhi. Apalagi tahapan berpikir mereka belum diimbangi dg logika.
Kedua, ada neuron cermin di otak anak2 usia dibawah 13 tahun. Neuron ini fungsinya copy paste. Jadi apa yg dilihat, diraba, dirasa, dicium, ataupun didengar dg inderanya akan cenderung dilakukan. Pertanyaannya, "apa yg mereka copy dari kita?"
Ketiga, ayah adalah figur yg kuat. Teks al qur'an bilang bahwa, "laki2 lebih kuat dari wanita". Bukan soal kuat manggul ya, tapi ini masalah figur otoritas yang lebih berpengaruh dari sosok2 lainnya. Jangan hanya bilang bahwa ibu adalah sekolah pertama buat anak2. Tapi, bilang juga bhw para ayah punya kewajiban menjadi kepala sekolahnya, yg mengatur kemana anak2 dan segenap keluarga diarahkan. Jadi, para ayah harus mengerti betul konsep membangun keluarga.
Jadi gimana dong?
Pertama, mulailah dari diri sendiri. "Perbaiki dirimu maka yg lain pun akan baik". Begitu agama kira2 mengajarkan. Jika ada anak bermasalah dan butuh konseling atau bahkan terapi, jangan2 orangtuanya dulu yg harus di konseling atau diterapi. Jangan malu! Semua kita juga ngga ada yg sempurna. Tapi perbaikan harus terus dilakukan. Selama jatah hidup masih ada..
Kedua, kalau memang harus berbuat salah, atau gampangnya belum bisa jadi orang bener, jangan di depan anak. Kalo perlu kata Allah cari tempat di bagian yg bukan bumi Allah yg Allah tidak bisa lihat! Susah ya? Makanya jangan 'ngeles', nanti anaknya juga ikut2an ngeles, "ayah aja begitu.."
Ketiga, buat daftar perbaikan diri. Dari yg paling mungkin dan gampang utk dilakukan. Agar kita merasa ngga berat2 amat untuk berubah, sehingga perubahan bisa lebih konsisten dan kontinyu.
Keempat. Rubah persepsi dari: "diri ini blm tentu bener, takut salah, jadi biarlah mengalir apa adanya" menjadi, "saya orang bener, kalaupun ada salah2 ya saya benerin lagi". Kenapa? Karena persepsi mempengaruhi cara pandang kita terhadap permasalahan. Kalo cara pandangnya salah ya kesana2nya juga bakalan salah. Bener ngga?
Terakhir, banyak2 doa. Allah yang membolak balikkan hati ini. Berdoalah "wahai pembolak balik hati, tetapkanlah hati ini dalam ketaatan kepadamu". Doa mungkin sepele. Tapi kekuatannya luar biasa! Jadi, jangan ragu2 utk berdoa.
Lakukan sekarang atau kita ngga punya waktu lagi utk melakukannya..
Terima kasih
Hilman Al Madani
Psikolog dan Trainer Yayasan kita & Buah Hati

Ditulis Pada: 12 April 2017, Pukul: 06:55:41















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sarra Risman | Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi ‘anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa’, seperti doa-doa umum yang seri

Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi 'anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa', seperti doa-doa umum yang sering kita katakan ketika mendengar berita kelahiran seorang bayi. Dari saya kecil, ibu saya tampaknya sudah mengikuti 'developmental milestone' yang menjelaskan bahwa anak usia segini, seharusnya sudah bisa begini. Kami dapat tugas khusus masing-masing, seperti kakak jadi tukang cuci baju, saya ahli cuci kamar mandi, dan adik sapu dan pel. Tugas tersebut berotasi sesuai usia, kebutuhan, dan (karena kami hidup nomaden) tempat tinggal. Tentunya rumah di Amerika, yang tertutup karpet dari ujung ke ujung, tidak membutuhkan sapu dan pel. Tugas juga di bagi sesuai dengan kebutuhan, jadi ketika ramadhan tiba, dan pembantu pulang, kakak bertugas menyiapkan sahur, saya dan adik merapihkan setelah sahur. Siangan dikit kakak memasak, adik mencuci, saya tukang setrika. Sampai kesepakatan rotasi berikut...

Silmy Risman | #SilmyShares:

#SilmyShares: Bersyukur itu seperti cinta. Tidak banyak makna jika cuma berbentuk kata-kata. Ia lebih nyata jika ditunjukkan lewat perilaku dan sikap kita. Saya beri contoh ya. Kalau ada pasangan A, yang suaminya bilang "I love you deh Say.." setiap hari tapi sikapnya kasar atau bahasa tubuhnya tidak hangat dan sering nyindir atau marah.. Dan pasangan B yang suaminya jarang memberikan kata-kata cinta tapi sering senyum, suka memuji dan ringan dalam membantu urusan anak atau pekerjaan di rumah.. Dalam jangka panjang, pilih mana? Nah sama dengan bersyukur. Kalau cuma menyatakan diri sebagai hamba tuhan yang bersyukur tapi setiap hari mengeluh, iri, dan ngomongin orang... Mana syukurnya? Nggak dihitung dan pastinya (apalagi bagi orang-orang sekitar) tidak terasa. Syukur itu harus sempat. Jangan hanya dalam doa setelah shalat (yang kadang itupun masih suka telat hehehe). Mulai bersyukur dari hal-hal kecil; masih punya tempat tinggal, bisa garuk kalau gatal (bayangin kalo nggak ...

Wina Risman | Memasukkan anak sekolah:

Memasukkan anak sekolah: Untuk anak atau ibu? Iya, saya paham. 10 menit keheningan terkadang sangat diperlukan seorang ibu,untuk tetap waras. Apalagi mereka yang mempunyai dua balita dibawah satu atap. Rangkaian pekerjaan yang sudah tersusun rapi di otak, detik ketika kita bangun pagi, seakan sudah menjadi otomatis tersedia. Satu menyambung dengan yang lainnya, hingga tak terasa, sudah waktunya mentari tenggelam lagi. Bahkan, setelah malampun tiba, masih ada sederet dua benda tersisa yang mesti diselesaikan, sebelum akhirnya tubuh mendapatkan haknya untuk baring dan kaki untuk selonjoran. Iya saya paham. Hanya saja, berangkat dari kepenatan harian yang sudah menahun, membuat seorang ibu seakan-akan merasa punya alasan, kenapa buah hatinya mesti segera disekolahkan. Sudah bosan di rumah Biar belajar bergaul Menstimulus berbicara Belajar sharing dan bermain bersama Anaknya sudah minta dll, dll... Sebetulnya, jika ditanya, terutama pada ibu yang menyekolahkan anaknya diusia 3th atau sebe...