Langsung ke konten utama

[KOMUNIKASI SUAMI ISTRI]

[KOMUNIKASI SUAMI ISTRI]

Umum sekali terjadi, tak lama setelah perkawinan, suami istri baru ini sudah mulai menemukan bahwa komunikasi antar mereka berdua jadi tidak selancar, sehangat apalagi seindah ketika dulu pacaran atau sebelum menikah.

Sekarang, ada saja yang gak nyambung, emosi naik, kadang diam, tak biasa dimengerti dan seolah tak ada keinginan untuk mengerti. Dulu kalau begini, salah satu pasti tidak akan pernah berhenti membujuk, sampai salah satunya mengalah dan komunikasi tersambung kembali.
Kenapa sudah kawin malah jadi sebaliknya?

Harapan dan mimpi indah yang dulu dibagi bersama dan menimbulkan semangat, kini seolah menguap begitu saja . Kenyataan yang ada sangat mencengangkan karena banyak hal yang dulu tidak diketahui kini menjadi jelas merupakan kebiasaan yang kurang pas dan kurang menyenangkan bagi pasangannya. Mulai dari kalau ngomong kurang diperhatiin, mau menang sendiri, kebiasaan yang tidak sama : naruh handuk basah diatas tempat tidur, suami merasa kurang dilayani, istri merasa kurang didengarkan perasaannya dan sejuta perbedaan lainnya yang terus menerus terjadi dari hari ke hari….

MENGAPA SEMUA INI TERJADI?

(1.) Hidup lebih realistis, kebiasaan dan sikap asli masing-masing nampak dan tak perlu dipoles dan disembunyikan lagi. Cara ekspresi emosi juga otomatis nampak : marah, menghakimi, selfish, narcist, mencap, dll.

(2.) Dari pengalaman saya menghadapi berbagai kasus keluarga dan perceraian, ketika pasangan ini belum menikah, mereka tidak mengetahui atau diberi tahu bahwa, masing-masing harus mempelajari latar belakang pengasuhan pasangannya dan mengapa perlu tahu.. Yang paling buruk adalah kenyataan bahwa masing-masing pasangan tersebut bahkan tidak cukup kenal dengan dirinya sendiri!

(3.) Tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah menciptakan laki-laki dan perempuan itu berbeda : otaknya, hormon2nya, alat kelamin, ratio otot daging, kapasitas paru paru dan lain sebagainya.

(4.) Tidak memiliki ketrampilan bicara yang benar, baik dan menyenangkan serta

(5.) Kurang memiliki keterampilan mendengar, sehingga

(6.) Tak mampu berkomunikasi yang baik, bersih dan jelas.

APA AKIBATNYA?

Masing masing seperti terperangkap dalam diri sendiri. Bagaimana jalan keluarnya? Mana bisa kita ceritakan sama ortu? Sudahlah beliau capek mendidik kita, menyekolahkan, mengawinkan. Masa masalah kita, kita bawa juga ke mereka. Kawin di jodohkan saja tidak mudah kita adukan apalagi ini pilihan kita sendiri. Tangan mencincang bahu memikullah. Kalau diceritakan ke orang lain, aib hukumnya. Menceritakan kekurangan atau kejelekan pasangan, bisa-bisa gak dapat mencium wanginya syurga!

Jadi terasa seperti api dalam sekam, panas terus tapi jangankan ada pintu atau jalan keluar, asap saja tak bisa dihembuskan. Ini yang membuat kadang-kadang semangat redup karena hati luka – merasa terkunci di hati sendiri, sulit ditemukan apalagi diberi pertolongan!
Harapan timbul tenggelam, "Ah.. siapa tahu nanti membaik. Siapa tahu kalau anak sudah lahir, siapa tahu kalau ada adiknya pula.. siapa tahu….."

APA YANG TERJADI SELANJUTNYA?

Kebutuhan semakin beda, marah mencuat, bersitegang – bertengkar, saling: merendahkan, menyalahkan, menjelek-jelekan & menjatuhkan, saling menuduh, menghakimi, mencap, bahkan sampai menyebut-nyebut orang tua. Akhirnya saling diam-diaman, bicara seperlunya saja semuanya membuat semakin sunyi di hati.
Sudah jelas dalam keadaan seperti ini sulit bagi masing-masing pasangan untuk menunjukkan pengertian, pengakuan apalagi pujian!
Satu tempat tidur tapi seperti beda planet! Berpapasan dipintu berusaha jangan senggolan, beradu kaki ditarik buru2. Kamar sering sekali sunyi, masing-masing dengan aktifitas sendiri sendiri. Tapi hati semakin luka, semakin perih.
Kalau ada tamu : standard ganda. Saling menyebut dan menyapa, seolah tidak terjadi apa-apa : "Iya begitu kan ya Ma/Pa?" (Hahahaha). Begitu tamu pulang, sunyi dan senyap kembali…

Kebutuhan untuk diterima dan didengarkan tetap ada pada masing-masing, sebagai kebutuhan dasar agar tetap menjadi manusia, mulailah terjadi perselingkuhan atau punya teman curhat yang biasanya berujung maksiat atau kawin lagi. Yang popular sekarang adalah BINOR (Bini Orang) atau LAKOR (Laki Orang), yaitu selingkuh dengan teman sekerja, sekantor atau lain kantor atau teman SMP dan SMA dulu. Semua dijaga ; Tahu sama Tahu. Kalau hamil kan punya suami! Yang paling buruk adalah selingkuh sejenis, seperti yang sering dibicarakan akhir-akhir ini. Yang jelas kebutuhan jiwa dapat, material apalagi!

Bayangkan bagaimana bermasalah anak-anak yang tumbuh dalam keluarga seperti ini? Sudahlah mungkin rezeki tidak halal dan thayyib, orang tuanya berbuat maksiat pula.
Banyak sekali orang tidak tahu, memang belum ada penelitiannya, bahwa bila seorang Ayah atau Ibu melakukan maksiat, pasangannya mungkin bisa dikelabuinya, tapi tidak dengan Allah dan anaknya!

Pengalaman saya menunjukkan bahwa anak yang tadinya manis, patuh dan berkelakuan baik, bisa tiba-tiba gelisah, tempramen, tantrum, tak bisa mengendalikan diri, marah, ngamuk dsb. Bila secara diam-diam salah satu ortunya berzina! Bayangkan, berapa banyak sekarang pasangan melakukan hal itu dan hubungkan dengan keresahan jiwa dan kenakalan remaja.

Dalam iklim psikologis, dirumah yang buruk sekali itulah anak tumbuh dan berkembang. Bayangkanlah dampak bagi perkembangan kejiwaan, emosi, kecerdasan, social dan spititualnya!

JADI, BAGIMANA SEBAIKNYA?

Pertama, harus disadari benar bahwa KOMUNIKASI PASANGAN ini sangat PENTING karena ia MENCERMINKAN IKLIM RUMAH : fondasi keluarga, kesehatan pribadi, kesehatan anggota keluarga, cerminan: kekuatan, kelemahan & kesulitan perkawinan dan kelanjutan serta kepuasan hidup!
Intinya, kalau suami usia masih muda sudah sakit-sakitan jangan-jangan ada masalah besar dengan istrinya. Sebaliknya, bila istri masih-muda sakit-sakitan, jangan-jangan suaminya bermasalah!

Untuk itu, kenalilah masa lalu masing-masing pasangan. Apa dan pengasuhan yang bagaimana yang membuatnya seperti sekarang ini yang kita uraikan diatas. Perjodohan adalah sebagian dari iman, karena tidak akan berjodoh Anda dengan pasangan Anda kecuali dengan izin Allah. Jangan mudah menceraikan atau minta cerai, karena itu adalah pekerjaan halal yang dibenci Allah. Perkawinan adalah perjanjian yang sangat kokoh : "Mitsaqan Galidha". Allah lebih tahu, dari yang Anda rasa dan fikir kurang atau buruk, disitu banyak kelebihan dan kebaikan menurut Allah.
Tapi karena kita kurang waspada dan menyadari bahwa syaithan tujuan utamanya adalah untuk menghancurkan perkawinan, seperti yang dilakukannya terhadap Nabi Adam dan Ibu Hawa, maka kita akan terkurung dalam penilaian dan pemikiran yang buruk saja tentang pasangan kita.

Jadi, berusahalah untuk meningkatkan keimanan, mintalah pertolongan Allah agar dibukakan mata hati kita untuk : bersyukur, menerima ketentuan Allah, bersangka baik, melihat kelebihan lebih banyak dari kekurangan, menemukan "Inner child" pasangan dan berusaha memaklumi dan perlahan merubahnya.

Kesulitan utama yang banyak dihadapi orang adalah karena dia tidak mengenal dirinya sendiri. Dia sendiri memiliki "inner child" yang parah dan terperangkap disitu. Dia sendiri melimpah, sehingga bagaimana mungkin menolong pasangannya. Dalam situasi seperti ini pasangan ini memerlukan pertolongan ahli, bahkan mungkin butuh terapi. Bila hal ini tidak segera dilakukan, penderitaan keduanya bisa berkepanjangan karena yang jadi korban adalah harapan satu-satunya dimasa depan yaitu : anak-anak mereka !

Selanjutnya adalah menyadari bahwa Allah menciptakan otak kita ini berbeda. Jadi pelajarilah akibat perbedaan ini lewat syeikh Google atau mbah Wiki, dan apa dampaknya pada salah pengertian dan salah harapan antara suami dan istri.

Langkah berikutnya untuk memperbaiki komunikasi adalah belajar MENJADI "PENDENGAR" YANG BAIK. Memang tidak mudah, karena kita dari kecil diajarkan untuk bicara dan bicara : lewat lomba pidato, story telling, debat dan lain sebagainya. Tapi tidak ada lomba mendengar!

MENDENGAR YANG BAIK ADA KIATNYA :

(1.) Hindari penghalang mendengar, yaitu : lebih mudah membuat jarak dengan pasangan, malas komunikasi, kalau ngomong bukannya dengar tapi memikirkan jawaban, menyaring tanda-tanda bahaya dalam percakapan, mengumpulkan data-data untuk mengutarakan pendapat dan memberikan penilaian terhadap apa yang di kemukakan oleh pasangan.

(2.) Berusahalah mendengar yang benar dengan : bukan hanya diam di depan pasangan yang sedang bicara tapi cari tahu (tanpa "baca pikiran") apa yang dimaksudkan, dikatakan dan dilakukan pasangan . Tunjukkan kita mengerti pasangan, sehingga hubungan terasa jadi lebih dekat, bisa menikmati kebersamaan, menciptakan dan melanggengkan keintiman.

(3.) Mendengar yang benar membutuhkan COMMITMENT & COMPLIMENT. Commitment/ kesepakatan dengan diri kita sendiri artinya dalam mendengar kita berusaha untuk: Mengerti, Memahami, Menyisihkan minat dan kebutuhan pribadi , Menjauhkan prasangka dan berusaha untuk Belajar melihat dari sudut pandangan pasangan.
Sedangkan Compliment/hadiah adalah menunjukkan pada pasangan bahwa "Saya peduli kamu, Saya ingin tahu apa yang kamu pikir atau apa yang kamu rasakan dan apa yang kamu butuhkan".

Semua ini memang tidak gampang tapi bukan hal yang mustahil untuk dilakukan. Cobalah sedikit-sedikit asal jangan Anda menyerah dan kembali ke pola komuniasi yang semula.
Mungkin yang penting sekali untuk Anda ingat :
Kalau ada kerikil dalam sepatu, terasa menganggu dipakai berjalan, buka sepatunya buang kerikilnya, bukan sepatunya yang Anda ganti. Tidak ada manusia yang sempurna, termasuk Anda!.

Yakin bahwa Anda bisa. Pasti bisa!!

Salam hangat,
Elly Risman, Psi

#EllyRismanParentingInstitute
#ParentingEraDigital


Ditulis Pada: 11 August 2017, Pukul: 08:26:49

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sarra Risman | Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi ‘anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa’, seperti doa-doa umum yang seri

Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi 'anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa', seperti doa-doa umum yang sering kita katakan ketika mendengar berita kelahiran seorang bayi. Dari saya kecil, ibu saya tampaknya sudah mengikuti 'developmental milestone' yang menjelaskan bahwa anak usia segini, seharusnya sudah bisa begini. Kami dapat tugas khusus masing-masing, seperti kakak jadi tukang cuci baju, saya ahli cuci kamar mandi, dan adik sapu dan pel. Tugas tersebut berotasi sesuai usia, kebutuhan, dan (karena kami hidup nomaden) tempat tinggal. Tentunya rumah di Amerika, yang tertutup karpet dari ujung ke ujung, tidak membutuhkan sapu dan pel. Tugas juga di bagi sesuai dengan kebutuhan, jadi ketika ramadhan tiba, dan pembantu pulang, kakak bertugas menyiapkan sahur, saya dan adik merapihkan setelah sahur. Siangan dikit kakak memasak, adik mencuci, saya tukang setrika. Sampai kesepakatan rotasi berikut...

Silmy Risman | #SilmyShares:

#SilmyShares: Bersyukur itu seperti cinta. Tidak banyak makna jika cuma berbentuk kata-kata. Ia lebih nyata jika ditunjukkan lewat perilaku dan sikap kita. Saya beri contoh ya. Kalau ada pasangan A, yang suaminya bilang "I love you deh Say.." setiap hari tapi sikapnya kasar atau bahasa tubuhnya tidak hangat dan sering nyindir atau marah.. Dan pasangan B yang suaminya jarang memberikan kata-kata cinta tapi sering senyum, suka memuji dan ringan dalam membantu urusan anak atau pekerjaan di rumah.. Dalam jangka panjang, pilih mana? Nah sama dengan bersyukur. Kalau cuma menyatakan diri sebagai hamba tuhan yang bersyukur tapi setiap hari mengeluh, iri, dan ngomongin orang... Mana syukurnya? Nggak dihitung dan pastinya (apalagi bagi orang-orang sekitar) tidak terasa. Syukur itu harus sempat. Jangan hanya dalam doa setelah shalat (yang kadang itupun masih suka telat hehehe). Mulai bersyukur dari hal-hal kecil; masih punya tempat tinggal, bisa garuk kalau gatal (bayangin kalo nggak ...

Wina Risman | Memasukkan anak sekolah:

Memasukkan anak sekolah: Untuk anak atau ibu? Iya, saya paham. 10 menit keheningan terkadang sangat diperlukan seorang ibu,untuk tetap waras. Apalagi mereka yang mempunyai dua balita dibawah satu atap. Rangkaian pekerjaan yang sudah tersusun rapi di otak, detik ketika kita bangun pagi, seakan sudah menjadi otomatis tersedia. Satu menyambung dengan yang lainnya, hingga tak terasa, sudah waktunya mentari tenggelam lagi. Bahkan, setelah malampun tiba, masih ada sederet dua benda tersisa yang mesti diselesaikan, sebelum akhirnya tubuh mendapatkan haknya untuk baring dan kaki untuk selonjoran. Iya saya paham. Hanya saja, berangkat dari kepenatan harian yang sudah menahun, membuat seorang ibu seakan-akan merasa punya alasan, kenapa buah hatinya mesti segera disekolahkan. Sudah bosan di rumah Biar belajar bergaul Menstimulus berbicara Belajar sharing dan bermain bersama Anaknya sudah minta dll, dll... Sebetulnya, jika ditanya, terutama pada ibu yang menyekolahkan anaknya diusia 3th atau sebe...