Langsung ke konten utama

“JANGAN BIKIN MAMA/AYAH MARAH, YA!” Berapa sering sudah selama Anda menjadi Ibu atau Ayah, Anda mengucapkan kata-kata seperti diatas kepada anak Anda? Sejak dia berusia berapa? Iya, kalau anak Anda s

"JANGAN BIKIN MAMA/AYAH MARAH, YA!"

Berapa sering sudah selama Anda menjadi Ibu atau Ayah, Anda mengucapkan kata-kata seperti diatas kepada anak Anda? Sejak dia berusia berapa? Iya, kalau anak Anda satu, bagimana kalau lebih? Apakah masing-masing mereka juga pernah menerima kalimat diatas dan sudah berapa kali?

Pernahkah Anda bertanya pada diri sendiri sebagai orang tua, mengapa Anda mudah sekali marah? Bahkan kadang untuk hal-hal yang sepele dilakukan anak atau bahkan untuk perilakunya yang karena usianya dia belum tahu bahwa itu merupakan sesuatu yang salah. Bukankah seringkali juga Ayah dan Bunda sudah langsung naik marahnya semata-mata karena anak tidak mendengar apa yang diucapkan, disuruh, dilarang oleh orang tuanya atau karena sekedar bertanya terus menerus.

Banyak hal memang yang bisa menjadi penyebab seseorang bisa marah : capek, kurang tidur, banyak pikiran, lapar, kesal sama pasangan dan orang lain disekitar tetapi tak bisa di keluarkan, waktu terbatas tapi banyak hal harus diselesaikan/buru-buru, stress, merasa terganggu dan beribu hal lainnya.

Tapi, kalau kemarahan Anda itu begitu otomatis, sangat mudah dan polanya sama, misalnya : bila anak Anda sebutlah "nakal" (yang maknanya bisa seribu juga tergantung definisi dari masing-masing orang tua) dan Anda langsung serta SELALU menunjukkannya dalam bentuk : mencubit, berteriak, memukul atau berkata kasar, maka Anda HARUS MENYELAM kedalam diri Anda dan MENGEMBARA kemasa lalu Anda : Ada apa dengan Anda? Mengapa Anda bereaksi seperti itu?

Apa yang Anda perlu lakukan terlebih dahulu adalah menemukan penyebab utama dari masa lalu tersebut. Anda juga harus bekerja sama dengan pasangan dan berusaha saling menemukan penyebab utamanya dan berusaha menyelesaikannya dengan : Menerima, Memaafkan dan kemudian pelan pelan Mengendalikannya.

Banyak sekali orang tua tidak menyadari sebab utama dari mereka marah, dan mengeluarkannya dalam bentuk tertentu kemarahannya secara terus menerus.

JADI, SIAPA SEBENARNYA YANG MENGONTROL DAN YANG DI KONTROL?

Kalau setiap kali Anda mengatakan : "Jangan bikin Ayah atau Mama marah ya, kamu gak tahan nanti!" atau "kamu gak tahu apa yang akan terjadi!" atau berbagai bentuk kalimat yang sama. Sebetulnya sadarkah kita apa yang sebenarnya yang sedang kita lakukan? Bukankah kalimat tersebut menunjukkan bahwa kita "menyerahkan kendali emosi kita kepada orang lain disekeliling kita, dalam hal ini anak kita sendiri? Mengapa kita jadikan dia yang memegang 'remote control' nya emosi kita? Berapa umurnya?" Dia kan anak-anak yang mungkin otaknya saja belum bersambungan? Bukankah bagi kita orang dewasa reaksi emosional kita tergantung pada kita? Selalu ada pilihan yang bebas untuk kita lakukan. Kalau kita menyerahkannya kepada anak-anak, tidak kah kita sebenarnya sama anak-anaknya dengan anak kita?

Jangan-jangan itulah yang merupakan salah satu sebab, mengapa ketika kita marah, kita tidak sadar apa yang terjadi, dan baru sadar setelah semua itu berlangsung baru kita jadi menyesal dan tidak jarang menangisinya. Tapi bukankah kemudian kejadian serupa terulang lagi?

Kemampuan bertanggung jawab terhadap aksi atau perilaku kita sesungguhnya menunjukkan tingkat kematangan diri. Menjadi pemilik dari kesalahan diri sendiri tanpa melemparnya atau menyalahkan orang lain, situasi yang ada bahkan masa kecil itulah KEDEWASAAN! Menjadi dewasa adalah tahap yang paling dasar untuk meraih kemampuan untuk mengontrol diri sendiri. Belajar untuk mengendalikan diri berarti kita berusaha bertanggung jawab terhadap keputusan kita sebelum, selama dan sesudah kita melakukan sesuatu. Ini membantu kita untuk mengenali bahwa tidak seorangpun bahkan anak kita bisa membuat kita merasakan, berfikir dan melakukan "sesuatu"!

Pantaskah bila kita biarkan anak kita membuat kita terpojok, menekan tombol kesabaran dan mendorong kita melakukan sesuatu yang salah? Kenyataannya mereka kan tidak segitunya "berkuasa" kan?
Bayangkanlah apa jadinya dengan anak kita bila keadaan seperti ini berlangsung terus, dimana anak sejak usia dini yang memegang kendali emosi orang tuanya? Bagaimana anak ini nanti kalau sudah lebih besar dan bagaimana pula lah masa tua Ayah Ibunya?

JADI, BAGAIMANA DONG SEBAIKNYA?

(1.) MEMPERHATIKAN EMOSI DIRI. Memang tidak semua orang tua marah pada anaknya, tapi pada umumnya semua kita mengalami "perjuangan" membesarkan dan mengasuh anak. Kita umumnya cemas dan kawatir bagaimana nanti "jadinya" anak kita. Hal ini membuat kita tak sengaja terlalu fokus pada anak sehingga lupa, bila sudah terlalu khawatir kita jadi kurang memperhatikan diri kita sendiri dan hilang kendali emosi.

(2.) SELESAIKAN DIRI SENDIRI DULU. Tolong jangan HANYA fokus pada anak, tapi fokus pada diri Anda sendiri dulu. Seperti kita mengantarkan anak ke sekolah dengan kendaraan: mobil kah atau motor, siapa yang mengendalikan kendaraan? Anak atau kita?. Begitulah seharusnya. Jadi, selesaikan dulu urusan dengan diri sendiri.

(3.) KENDALIKAN PIKIRAN DAN PERASAAN. Berjuanglah untuk tetap memiliki kendali atas pikiran dan perasaan kita sebagai orang tua. Marah bukan tidak boleh, tetapi bila keseringan dan merupakan kebiasaan untuk berespons terhadap anak akan berakibat tidak baik bukan hanya bagi hubungan orang tua dan anak tetapi juga terhadap "well being" nya. Karena marah tidak menyelesaikan masalah apalagi disertai kata-kata yang tajam, bentakan dan hukuman fisik.

(4.) TINGKATKAN ILMU AGAMA. Mengendalikan diri dari marah juga harus dengan ilmu. Bahwa perubahan pertama yang dilakukan adalah terhadap diri sendiri. Kemudian harus meningkatkan ilmu agama selain dari ilmu pengasuhan. Pastilah dalam agama kita masing masing ada ketentuan dan aturan tentang mengendalikan marah sebagai salah satu sifat yang diciptakan ada dalam diri kita. Kalau tidak, kita tak akan berperang dengan diri sendiri dan dengan sekeliling kita bila kesalahan, kedhaliman, kemungkaran terjadi.
Dalam Islam, bila seseorang marah dia hendaknya menahan amarahnya dan memaafkan (3:134 ; 42: 37). Bahkan dalam surah At-Thagabun disebutkan bahwa : "Wahai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu maafkan, jangan marah serta ampuni mereka maka sungguh Allah Maha Pengeampun Maha Penyayang."

Bagaimana kita mampu melakukan semua itu : Memaafkan, tidak marah dan mengampunkan, kalau kita saja tidak bisa mengendalikan diri kita sendiri?
Kalau hubungan orang tua-anak didasarkan dengan banyak marah dan teriak, maka akan jadi bagaimanalah hubungan tersebut nantinya?

Allah Maha Tahu akan apa yang Dia ciptakan. Mengapa kita harus maafkan anak kita dan sebaiknya tidak marah? Kan otaknya belum bersambungan? Mereka membutuhkan diberi tahu tentang banyak hal : baik-buruk , salah-benar, boleh-tidak boleh, halal dan haram, dll. Untuk itu mereka sangat membutuhkan bimbingan, arahan yang penuh kasih sayang. Bukan marah dan teriakan !.
Rasulullah SAW dimintai wasiat yang singkat dan padat oleh seorang sahabat : Jariyah bin Qudamah RA. Rasulullah mengatakan: "Engkau jangan marah!" (HR Buchari)
Hadist lain Rasulullah mengajarkan bila seorang marah hendaknya dia DIAM, sehingga terhindar dari mengeluarkan kata-kata yang tidak patut dan keji.

MARAH ADALAH BARA YG DILEMPAR SYAITAN

Karena marah adalah bara yang dilemparkan syaithan kedalam hati anak Adam sehingga ia mudah emosi, dadanya membara, urat syaraf menegang, wajah memerah dan terkadang ungkapan dan tindakannya tidak masuk akal.
Rasulullah juga bersabda : Kalau seseorang marah dalam keadaan berdiri, maka sebaiknya dia duduk. Bila masih marah : berbaring. Bila masih marah juga sebaiknya dia berwudhu.
Cara lain yang dianjurkan Rasulullah adalah mengucapkan : A'udzubillahi minasyaithanir rajim…

Jadi, kita telah diajarkan berbagai cara untuk mengendalikan diri kita dari amarah dan juga telah diberi tahu "ganjarannya" yaitu sabda Rasulullah :
a. Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk syurga"
b. Barangsiapa menahan amarah, padahal dia mampu melakukannya, maka pada hari kiamat Allah akan memanggilnya dihadapan seluruh makhluk, kemudian Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang ia sukai.
Masih mau marah juga? Ya Ampuuun!!!

Jadi teman-teman, perjuangan terbesar kita bukanlah bagaimana menghadapi dan membatasi anak kita dari pengaruh buruk TV, Internet, Pornografi, Miras dan Narkoba dan pergaulan bebas, tapi perjuangan mengatasi reaksi emosi kita sendiri!

Kalau kita ingin berpengaruh terhadap anak kita, kontrol reaksi emosi! Kita harus yaqqin bahwa kita bisa kok memilih reaksi emosi mana yang akan kita tunjukkan.
Pengasuhan adalah bisnis yang TIDAK BOLEH GAGAL!

Kalau anda sudah kepenuhan dan sangat lelah, ini tips yang paling mudah : Duduklah bersandar, ingat anjuran Rasulullah untuk diam. Pandang anak anda dengan kasih, tarik nafas panjang dan dalam lalu hembuskan. Lakukan beberapa kali sambil katakan dalam hati anda: "Benar benar yah nih anaakkkkk… otaknya belum sempurna bersambungan!!"
Senyummm…...
Senyum, kata seorang ahli, membuat otot pipi berkerut, menghentikan aliran oksigen dari pembuluh darah yang satu ke pembuluh darah berikutnya, sehingga menyebabkan batang otak menjadi dingin dan kondisi itu memproduksi serotonin. Serotonin anti agresivitas…
Jadi gak mungkin sambil tersenyum, Anda menghampiri anak Anda mencubit, memarahi atau membentaknya. Iya kan?

Selamat berjuang mengatasi reaksi emosi yang negatif dan berhentilah bilang : "Jangan sampe bikin Ayah/Mama marah, ya!" dengan wajah berang dan mata melotot….

Salam hangat,
Elly Risman, Psi

#EllyRismanParentingInstitute
#ParentingEraDigital


Ditulis Pada: 09 August 2017, Pukul: 13:41:45

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sarra Risman | Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi ‘anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa’, seperti doa-doa umum yang seri

Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi 'anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa', seperti doa-doa umum yang sering kita katakan ketika mendengar berita kelahiran seorang bayi. Dari saya kecil, ibu saya tampaknya sudah mengikuti 'developmental milestone' yang menjelaskan bahwa anak usia segini, seharusnya sudah bisa begini. Kami dapat tugas khusus masing-masing, seperti kakak jadi tukang cuci baju, saya ahli cuci kamar mandi, dan adik sapu dan pel. Tugas tersebut berotasi sesuai usia, kebutuhan, dan (karena kami hidup nomaden) tempat tinggal. Tentunya rumah di Amerika, yang tertutup karpet dari ujung ke ujung, tidak membutuhkan sapu dan pel. Tugas juga di bagi sesuai dengan kebutuhan, jadi ketika ramadhan tiba, dan pembantu pulang, kakak bertugas menyiapkan sahur, saya dan adik merapihkan setelah sahur. Siangan dikit kakak memasak, adik mencuci, saya tukang setrika. Sampai kesepakatan rotasi berikut...

Silmy Risman | #SilmyShares:

#SilmyShares: Bersyukur itu seperti cinta. Tidak banyak makna jika cuma berbentuk kata-kata. Ia lebih nyata jika ditunjukkan lewat perilaku dan sikap kita. Saya beri contoh ya. Kalau ada pasangan A, yang suaminya bilang "I love you deh Say.." setiap hari tapi sikapnya kasar atau bahasa tubuhnya tidak hangat dan sering nyindir atau marah.. Dan pasangan B yang suaminya jarang memberikan kata-kata cinta tapi sering senyum, suka memuji dan ringan dalam membantu urusan anak atau pekerjaan di rumah.. Dalam jangka panjang, pilih mana? Nah sama dengan bersyukur. Kalau cuma menyatakan diri sebagai hamba tuhan yang bersyukur tapi setiap hari mengeluh, iri, dan ngomongin orang... Mana syukurnya? Nggak dihitung dan pastinya (apalagi bagi orang-orang sekitar) tidak terasa. Syukur itu harus sempat. Jangan hanya dalam doa setelah shalat (yang kadang itupun masih suka telat hehehe). Mulai bersyukur dari hal-hal kecil; masih punya tempat tinggal, bisa garuk kalau gatal (bayangin kalo nggak ...

Wina Risman | Memasukkan anak sekolah:

Memasukkan anak sekolah: Untuk anak atau ibu? Iya, saya paham. 10 menit keheningan terkadang sangat diperlukan seorang ibu,untuk tetap waras. Apalagi mereka yang mempunyai dua balita dibawah satu atap. Rangkaian pekerjaan yang sudah tersusun rapi di otak, detik ketika kita bangun pagi, seakan sudah menjadi otomatis tersedia. Satu menyambung dengan yang lainnya, hingga tak terasa, sudah waktunya mentari tenggelam lagi. Bahkan, setelah malampun tiba, masih ada sederet dua benda tersisa yang mesti diselesaikan, sebelum akhirnya tubuh mendapatkan haknya untuk baring dan kaki untuk selonjoran. Iya saya paham. Hanya saja, berangkat dari kepenatan harian yang sudah menahun, membuat seorang ibu seakan-akan merasa punya alasan, kenapa buah hatinya mesti segera disekolahkan. Sudah bosan di rumah Biar belajar bergaul Menstimulus berbicara Belajar sharing dan bermain bersama Anaknya sudah minta dll, dll... Sebetulnya, jika ditanya, terutama pada ibu yang menyekolahkan anaknya diusia 3th atau sebe...