Langsung ke konten utama

[GADGET SAFETY]

[GADGET SAFETY]

Kutipan wawancara Wartawan Tribun Jateng
bersama Hilman Al Madani
Trainer Yayasan Kita & Buah Hati

1) Seberapa penting peran orang tua untuk mendampingi anak ketika bermain gadget terutama saat melihat tayangan di youtube?

Tentu saja sangat penting perang orangtua dalam mendampingi anak bergadget. Gadget dunia tanpa batas yang bisa menyambungkan kita dan anak-anak kita ke seluruh penjuru dunia.

Di Youtube, setiap orang bisa bebas meng-upload konten apapun. Meskipun kononnya di filter oleh pihak youtube, tapi seperti yang kita ketahui bersama, ada saja konten-konten negatif lolos sensor yang masih bisa akses.

Hal yang harus diketahui anak adalah, dengan perkembangan Lobus frontal pada bagian Pre frontal cortex (PFC) yang belum matang, fungsi berpikir-memilih-mengambil keputusan anak belum baik.

Disinilah peran orangtua dalam mendampingi anak. Istilahnya "Surrogate Director" atau direktur pendamping yang melengkapi fungsi anak dalam berpikir-memilih-mengambil keputusan.

------------------------
2) Ada konten animasi untuk anak-anak di youtube yang ternyata itu ada konten dewasa nya, meski itu tontonan kartun, sebaiknya orang tua khususnya ibu bagaimana memberikan aturan agar anak masih bisa terkontrol?

Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh orangtua. PERTAMA, lakukan edukasi tentang konten baik dan konten buruk. Pahamkan tentang konsekuensi yang terjadi jika megaksesnya, lalu buat kesepakatan.

KEDUA, mohon aktifkan 'mode terbatas' atau 'restricted mode' pada setting youtube. Semoga hal ini sedikit membantu orangtua dalam memfilter konten-konten di youtube yang tidak pantas di akses anak.

KETIGA, cek history berselancar anak di bagian history/riwayat secara berkala. Jika memungkinkan, pasang "parental control" semacam "APLIKASI KAKATU" di Android yang mengatur, membatasi ruang gerak anak di 'dunia tak terbatas', bahkan bisa memberi informasi kepada orangtua tentang apa saja yang diakses anak.

KEEMPAT, diskusikan secara berkala tentang konten yang diakses anak. Tanyakan kepadanya, "apa yang kamu fahami tentang apa yang kamu lihat tersebut? Bagaimana pendapatmu tentang hal tersebut, lalu apa yang akan kamu lakukan jika suatu saat kamu mendapati konten seperti itu lagi?"

Hal ini sangat penting dalam melatih pre frontal cortex dengan fungsi-fungsinya sehingga anak semakin paham tentang hal baik dan buruk serta mampu mengambil keputusan saat menghadapi konten tersebut.

----------------
3) Usia berapa anak diperbolehkan bermain gadget dan melihat tayangan di youtube?

Bukan soal youtube-nya. Tapi menurut penelitian, sebaiknya anak tidak terpapar gadget di bawah 2 tahun, karena 2 tahun pertama otak anak berkembang sangat pesat sekali, dan paparan gadget sangat mungkin merusak syaraf dan struktur otak anak yang sedang berkembang pesat tersebut.

Jadi, aturan anak bergadget adalah: 0-2 tahun No gadget, 2-5 tahun hanya boleh 5-10 menit, 5-7 tahun 10-20 menit, 7-9 tahun 30 menit, 9-12 tahun 60 menit, di atas itu menggunakannya sesuai kebutuhan dengan tetap memperhatikan berbagai aspek perkembangan yang harus diperkembangkan. Bukan hanya gadget.

Waktu yang diperbolehkan untuk anak tersebut tentu saja juga harus mempertimbangkan konten apa yang boleh diakses anak.

----------------
4) Sikap orang tua terutama ibu baiknya bagaimana ke anak agar anak dari sisi Psikologisnya bisa tumbuh dengan baik

Pertama, orangtua harus ada kedekatan, sehingga anak tidak hanya fokus ke gadget.

Kedua, adanya aturan dan kesepakatan antara orangtua dan anak.

Ketiga, orangtua harus sadar bahwa ada setidaknya 9 aspek perkembangan; Fisik & Kesehatan, Keimanan, Ibadah, Emosi, Kecerdasan, Sosial, Etika, Keterampilan dan Seksualitas yang harus diperkembangkan, dan itu tidak bisa di cover hanya dengan bergadget.

Mungkin anak-anak yang bergadget akan tahu banyak tentang segala sesuatu, tetapi ia tidak tahu banyak tentang dunia yang sebenarnya. So, gadget is not everything...


Ditulis Pada: 06 August 2017, Pukul: 08:57:04

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sarra Risman | Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi ‘anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa’, seperti doa-doa umum yang seri

Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi 'anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa', seperti doa-doa umum yang sering kita katakan ketika mendengar berita kelahiran seorang bayi. Dari saya kecil, ibu saya tampaknya sudah mengikuti 'developmental milestone' yang menjelaskan bahwa anak usia segini, seharusnya sudah bisa begini. Kami dapat tugas khusus masing-masing, seperti kakak jadi tukang cuci baju, saya ahli cuci kamar mandi, dan adik sapu dan pel. Tugas tersebut berotasi sesuai usia, kebutuhan, dan (karena kami hidup nomaden) tempat tinggal. Tentunya rumah di Amerika, yang tertutup karpet dari ujung ke ujung, tidak membutuhkan sapu dan pel. Tugas juga di bagi sesuai dengan kebutuhan, jadi ketika ramadhan tiba, dan pembantu pulang, kakak bertugas menyiapkan sahur, saya dan adik merapihkan setelah sahur. Siangan dikit kakak memasak, adik mencuci, saya tukang setrika. Sampai kesepakatan rotasi berikut...

Silmy Risman | #SilmyShares:

#SilmyShares: Bersyukur itu seperti cinta. Tidak banyak makna jika cuma berbentuk kata-kata. Ia lebih nyata jika ditunjukkan lewat perilaku dan sikap kita. Saya beri contoh ya. Kalau ada pasangan A, yang suaminya bilang "I love you deh Say.." setiap hari tapi sikapnya kasar atau bahasa tubuhnya tidak hangat dan sering nyindir atau marah.. Dan pasangan B yang suaminya jarang memberikan kata-kata cinta tapi sering senyum, suka memuji dan ringan dalam membantu urusan anak atau pekerjaan di rumah.. Dalam jangka panjang, pilih mana? Nah sama dengan bersyukur. Kalau cuma menyatakan diri sebagai hamba tuhan yang bersyukur tapi setiap hari mengeluh, iri, dan ngomongin orang... Mana syukurnya? Nggak dihitung dan pastinya (apalagi bagi orang-orang sekitar) tidak terasa. Syukur itu harus sempat. Jangan hanya dalam doa setelah shalat (yang kadang itupun masih suka telat hehehe). Mulai bersyukur dari hal-hal kecil; masih punya tempat tinggal, bisa garuk kalau gatal (bayangin kalo nggak ...

Wina Risman | Memasukkan anak sekolah:

Memasukkan anak sekolah: Untuk anak atau ibu? Iya, saya paham. 10 menit keheningan terkadang sangat diperlukan seorang ibu,untuk tetap waras. Apalagi mereka yang mempunyai dua balita dibawah satu atap. Rangkaian pekerjaan yang sudah tersusun rapi di otak, detik ketika kita bangun pagi, seakan sudah menjadi otomatis tersedia. Satu menyambung dengan yang lainnya, hingga tak terasa, sudah waktunya mentari tenggelam lagi. Bahkan, setelah malampun tiba, masih ada sederet dua benda tersisa yang mesti diselesaikan, sebelum akhirnya tubuh mendapatkan haknya untuk baring dan kaki untuk selonjoran. Iya saya paham. Hanya saja, berangkat dari kepenatan harian yang sudah menahun, membuat seorang ibu seakan-akan merasa punya alasan, kenapa buah hatinya mesti segera disekolahkan. Sudah bosan di rumah Biar belajar bergaul Menstimulus berbicara Belajar sharing dan bermain bersama Anaknya sudah minta dll, dll... Sebetulnya, jika ditanya, terutama pada ibu yang menyekolahkan anaknya diusia 3th atau sebe...