Langsung ke konten utama

BAYIKU AKRAB DENGAN GADGET

BAYIKU AKRAB DENGAN GADGET

Yayasan Kita dan Buah Hati
.
.
Siapa yang tidak pernah satu kali pun melihat batita aktif menggunakan gadget? Bahkan kita pernah mendengar pengakuan dari teman atau saudara bahwa anaknya yang belum genap 2 tahun sudah akrab dan fasih membuka gadget dan youtube.

Marc Prensky menyebut anak-anak itu adalah digital native, yaitu anak-anak yang lahir di era digital dimana mereka sudah terpapar teknologi sejak lahir. Istilah "Digital Native" pertama kali Marc kenalkan pada tahun 2001 melalui jurnal "On The Horizon" yang diterbitkan oleh MCB University Press.

Gadget merupakan benda keseharian yang tidak asing lagi bagi para digital native. Mereka lebih pintar menggunakan gadget daripada orangtuanya yang disebut Digital Immigrant oleh Marc.

Mau contohnya?

Sistem pengontrolan terpadu yang dilakukan Kakatu dalam sistem Kakatu School memberikan kita informasi ternyata subjek pencarian yang dominan dicari oleh anak SD adalah "bagaimana cara menghapus history" dan "bagaimana cara meretas password". Bahkan ada anak yang membuat tutorialnya.

Gadget seringkali menjadi penyelamat bagi para ibu karena dapat membantu anaknya tenang pada saat kesibukan rumah harus diselesaikan, sementara anak tak ada yang mengasuh.

Ada pula orang tua yang memberikan gadget kepada anaknya sebagai sarana edukasi. Namun ada juga yang dikarenakan tidak tega kepada sang anak karena melihat sepupu yang sudah diberi 'mainan' tab.

Ternyata, Asosiasi Dokter Anak Amerika Serikat dan Kanada (the American Academy of Pediatrics) menekankan anak usia 0-18 bulan tidak boleh terpapar gadget sama sekali.

Sebelum tahun 2016, AAP memberlakukan hingga usia 2 tahun. Perubahan ini pun bersyarat, orangtua wajib melakukan pendampingan, batasan waktu, dan berinteraksi dua arah di samping anak 18-24 bulan yang diizinkan nonton TV atau pakai gadget.

Hal ini tentunya bukan tanpa alasan. Ada bukti kuat bahwa anak yang sudah terpapar dengan layar sebelum usia 2 tahun, akan mengalami gangguan pengelihatan, defisit perhatian, gangguan dalam perkembangan bahasa, gangguan kemampuan konsentrasi (bisa sangat pendek atau justru panjang sekali) dan daya ingat jangka pendek (edukasi yang berasal dari gadget tidak akan lama bertahan dalam ingatan anak-anak), adiksi, serta resiko lebih tinggi untuk terpapar radiasi.

Tidak ditemukan munculnya kata-kata baru yang dipelajari dari program video yang dirancang untuk meningkatkan kosa kata anak usia 12-18 bulan (Penelitian DeLoache dkk pada tahun 2010). Dengan demikian, pendekatan pendidikan melalui gadget tidak akan efektif bagi mereka.

Fakta lain dari Tomopoulos (2011) mengatakan bahwa stimulus yang didapat anak usia di bawah 3 tahun dari layar belum dapat mereka pahami. Hal ini disebabkan layar tidak dapat memberikan interaksi dua arah. Anak tidak dapat belajar membaca ekspresi, dan yang terpenting merasakan afeksi dari lawan bicaranya melalui nada bicara dan bahasa tubuh; padahal anak-anak terlahir untuk berinteraksi dengan manusia dan belajar melalui interaksi tersebut.

Dari beberapa hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa no gadget at all untuk anak di bawah 2 tahun.

Jadi, bagaimana solusinya?

Pada usia 0-2 tahun, menurut Piaget, anak berada pada tahapan sensorimotor. Artinya, pada tahap ini anak belajar segala sesuatu dengan mengembangkan seluruh indranya, yaitu sentuhan, visual, motorik, auditori, gustatori (pengecapan), olfaktori (penciuman), dan vestibular (keseimbangan).

Stimulasi merupakan kunci utama dalam proses pertumbuhan anak pada usia 0-2 tahun. Gadget memang dapat menjadi salah satu alat dalam memberi stimulasi, namun hanya pada bagi penglihatan dan pendengaran. Padahal kunci stimulasi adalah sensori motor integrasi. Yaitu ketika seluruh indranya bekerja sama. Gadget, tidak memadai itu.

Dari hasil penelitian Martha Farah, Direktur Center for Neuroscience and Society di the University of Pennsylvania, menyimpulkan bahwa stimulasi kognitif anak akan memiliki dampak signifikan jika anak distimulasi menggunakan buku, mainan yang mendidik dan alat musik yang nyata.

Selain itu Farah dan timnya juga menyimpulkan bahwa anak akan lebih lancar berbahasa jika distimulasi mengunakan benda-benda yang nyata. Kata kuncinya adalah NYATA/KONKRET. Si kecil belajar langsung tanpa perantara layar kaca.

Penelitian yang dilakukan Farah ini juga didukung oleh penulis buku anak Jamie Loehr, MD dan Jen Meyers. Menurut mereka anak-anak pada usia batita memerlukan interaksi yang berasal dari orang tua dan pengasuh untuk merangsang otak mereka. Hal ini juga sesuai dengan apa yang disampaikan oleh para peneliti Harvard University.

Lihat video ini : https://web.facebook.com/yayasankitadanbuahhati/videos/1748240771869767/

Berdasarkan prinsip sensorimotor integrasi, stimulasi yang perlu orangtua lakukan adalah dengan meleburkan anak dengan kehidupan nyata sehari-hari dan bermain permainan yang membutuhkan gerak fisik.

Pemaparan yang sangat lengkap, simak video berikut : https://www.youtube.com/playlist?list=PLS99bFqMqw5IkBz7ZJVvhk8tJzDfK3K_m

Selain itu orangtua juga dapat menstimulasi anak dengan memperdengarkan lantunan ayat suci Al-quran, lagu-lagu untuk memperkenalkan beragam hal, bacaan doa, dll. Perbanyak sentuhan dan pelukan untuk mengembangkan emosional anak.

Apa yang bisa orang tua lakukan apabila anak sudah terlanjur mengenal gadget?

1. Membuat kesepakatan dengan anak mengenai durasi dan aturan menggunakan gadget
2. Memberikan jadwal anak boleh mempergunakan gadget
3. Perbanyak waktu bermain bersama anak yang menyenangkan baik indoor maupun outdoor misal dengan berenang, bermain air, ke taman, ke kebun binatang, dll
4. Alihkan kegemaran anak dari gadget ke buku. Bacakan cerita, mendongeng, atau berjalan-jalan ke perpustakaan meski anak belum bisa membaca bahkan belum mengenal buku
5. Hindari penggunaan gadget di depan anak karena bagaimanapun anak akan meniru apa yang diperlihatkan orang tua pada anak.

Diatas semua upaya tersebut, selalu sadari bahwa anak adalah amanah Tuhan yang dititipkan pada kita. Sudah menjadi tanggungjawab kita untuk menjaga dan merawatnya selalu. Semoga kita senantiasa dikuatkan dan diberi petunjuk hingga saatnya nanti dikembalikan pada Pemiliknya.

#BrainBasedParenting
#YKBH
#YayasanKitadanBuahHati


Ditulis Pada: 22 May 2017, Pukul: 06:45:36

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sarra Risman | Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi ‘anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa’, seperti doa-doa umum yang seri

Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi 'anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa', seperti doa-doa umum yang sering kita katakan ketika mendengar berita kelahiran seorang bayi. Dari saya kecil, ibu saya tampaknya sudah mengikuti 'developmental milestone' yang menjelaskan bahwa anak usia segini, seharusnya sudah bisa begini. Kami dapat tugas khusus masing-masing, seperti kakak jadi tukang cuci baju, saya ahli cuci kamar mandi, dan adik sapu dan pel. Tugas tersebut berotasi sesuai usia, kebutuhan, dan (karena kami hidup nomaden) tempat tinggal. Tentunya rumah di Amerika, yang tertutup karpet dari ujung ke ujung, tidak membutuhkan sapu dan pel. Tugas juga di bagi sesuai dengan kebutuhan, jadi ketika ramadhan tiba, dan pembantu pulang, kakak bertugas menyiapkan sahur, saya dan adik merapihkan setelah sahur. Siangan dikit kakak memasak, adik mencuci, saya tukang setrika. Sampai kesepakatan rotasi berikut...

Silmy Risman | #SilmyShares:

#SilmyShares: Bersyukur itu seperti cinta. Tidak banyak makna jika cuma berbentuk kata-kata. Ia lebih nyata jika ditunjukkan lewat perilaku dan sikap kita. Saya beri contoh ya. Kalau ada pasangan A, yang suaminya bilang "I love you deh Say.." setiap hari tapi sikapnya kasar atau bahasa tubuhnya tidak hangat dan sering nyindir atau marah.. Dan pasangan B yang suaminya jarang memberikan kata-kata cinta tapi sering senyum, suka memuji dan ringan dalam membantu urusan anak atau pekerjaan di rumah.. Dalam jangka panjang, pilih mana? Nah sama dengan bersyukur. Kalau cuma menyatakan diri sebagai hamba tuhan yang bersyukur tapi setiap hari mengeluh, iri, dan ngomongin orang... Mana syukurnya? Nggak dihitung dan pastinya (apalagi bagi orang-orang sekitar) tidak terasa. Syukur itu harus sempat. Jangan hanya dalam doa setelah shalat (yang kadang itupun masih suka telat hehehe). Mulai bersyukur dari hal-hal kecil; masih punya tempat tinggal, bisa garuk kalau gatal (bayangin kalo nggak ...

Wina Risman | Memasukkan anak sekolah:

Memasukkan anak sekolah: Untuk anak atau ibu? Iya, saya paham. 10 menit keheningan terkadang sangat diperlukan seorang ibu,untuk tetap waras. Apalagi mereka yang mempunyai dua balita dibawah satu atap. Rangkaian pekerjaan yang sudah tersusun rapi di otak, detik ketika kita bangun pagi, seakan sudah menjadi otomatis tersedia. Satu menyambung dengan yang lainnya, hingga tak terasa, sudah waktunya mentari tenggelam lagi. Bahkan, setelah malampun tiba, masih ada sederet dua benda tersisa yang mesti diselesaikan, sebelum akhirnya tubuh mendapatkan haknya untuk baring dan kaki untuk selonjoran. Iya saya paham. Hanya saja, berangkat dari kepenatan harian yang sudah menahun, membuat seorang ibu seakan-akan merasa punya alasan, kenapa buah hatinya mesti segera disekolahkan. Sudah bosan di rumah Biar belajar bergaul Menstimulus berbicara Belajar sharing dan bermain bersama Anaknya sudah minta dll, dll... Sebetulnya, jika ditanya, terutama pada ibu yang menyekolahkan anaknya diusia 3th atau sebe...