Langsung ke konten utama

APAKAH KITA SIAP MENJADI ORANGTUA?

APAKAH KITA SIAP MENJADI ORANGTUA?

.
Apa yang Ayah Bunda rasakan saat dulu baru saja menikah? Bahagia? Excited? Ingin segera mendapat momongan?

Kita membayangkan anak-anak yang lucu dan menjadi penyejuk hati, berprestasi, berperilaku mulia, membanggakan, dan menjadi hadiah dari Tuhan tersebab kita merawatnya dengan baik.

Siapa yang tak mengenal Ananda Musa bin La Ode Abu Hanafi, Hafizh cilik berusia 7 tahun asal Bangka Belitung yang meraih juara ke-3 dalam Musabaqah Hifzil Quran Internasional di Sharm El-Sheikh, Mesir.

Di dunia musik, ada Joey Alexander Sila, pianis jazz berusia 11 tahun ini mendapatkan nominasi Grammy Award 2016 untuk dua kategori. Namanya masuk dalam 30 Under 30 Asia susunan Forbes bersama belasan anak muda asal Indonesia lainnya di berbagai bidang.

Di dunia sains dan teknologi, berderet nama pemenang medali untuk berbagai olimpiade tingkat internasional, baik di bidang Matematika, Fisika, Biologi, Astronomi, Astrofisika, dan Robotika.

Di dunia desain dan animasi, sebutkanlah film-film box office dari Marvel, Universal Studio dan Disney, ada nama-nama Indonesia di balik layarnya. Dan masih banyak lagi anak Indoensia berprestasi di bidang masing-masing di kancah internasional.

Kadang kita mengeluarkan joke, "Dikasih makan apa ya mereka sama orangtuanya?" sebagai ungkapan kagum kita.

Sekarang, mari simak data berikut ini :
• 4 dari 100 pelajar dan mahasiswa Indonesia mengkonsumsi narkoba
• 95 dari 100 anak kelas 4, 5 dan 6 SD telah mengakses pornografi
• 93 dari 100 remaja pernah berciuman bibir
• 600.000 kasus anak-anak Indonesia hamil di luar nikah usia 10 - 11 tahun
• 2,2 juta kasus remaja Indonesia usia 15 - 19 tahun hamil di luar nikah
• 5 dari 100 remaja tertular penyakit menular seksual
• 3061 remaja terinfeksi HIV setiap 3 bulan
• Kasus incest terjadi di 25 Propinsi pada 2014
[Rangkuman data dari BNN dan Puslitkes UI (2011), KPAI (Oktober 2013), Kemenkes (Oktober 2013), Divisi Anak dan Remaja YKBH (2014), Content Analysis berita online YKBH, (2014)]

Bagaimana perasaan Ayah Bunda setelah mengetahui data-data diatas? Mengapa dunia anak-anak itu mengerikan sekali ya? Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana hal tersebut bisa kita cegah terjadi pada anak kita?

Di satu sisi, kita melihat negara kita "memproduksi" anak-anak yang sedemikian berprestasi. Di sisi lain, ada anak-anak yang demikian kelam hidupnya.

Allah swt telah menuliskan dalam kalamNya, anak adalah penyejuk mata (QS. Al Furqon: 74) dan perhiasan dunia (QS. Ali Imron: 14, QS. Al-Kahfi: 46).

Namun, anak juga bisa menjadi ujian (Q.S. Al Anfaal : 28) dan bisa menjadi musuh (QS. At-Taghabun: 14).

Pada dasarnya, anak terlahir dalam fitrah yang suci. Seperti dalam hadist yang dituturkan oleh Abu Hurairah ra :

"Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi -sebagaimana hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat tanpa cacat. Maka, apakah kalian merasakan adanya cacat? ' Lalu Abu Hurairah berkata; 'Apabila kalian mau, maka bacalah firman Allah yang berbunyi: '…tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah.' (QS. Ar Ruum (30): 30)"

Maka, jelaslah bahwa tangan kita lah yang menorehkan warna lain dalam fitrah anak kita. Meski, ada juga anak-anak yang sudah diasuh dengan "baik", masih juga terwarnai oleh warna lain yang tak sesuai dengan warna ilahiah.

Seperti yang dialami oleh Nabi Adam as dan Nabi Nuh as, namun mereka tetap gigih meluruskan anaknya dalam fitrah hingga titik darah penghabisan.

Anak-anak dalam data hitam di atas merupakan anak-anak yang berada dalam kondisi mental yang disebut BLAST (Boring/ bosan – Lonely/kesepian – Afraid &Angry/ takut & marah – Stress – Tired/ Capek). Kemungkinan besar mereka merupakan korban kesalahan pengasuhan. Mudah-mudahan anak-anak kita jauh dari kondisi tersebut.

Kita memang tidak pernah sekolah untuk menjadi orangtua dan mengasuh anak kita. Meskipun demikian, tentu kita tidak ingin menciptakan anak-anak seperti itu.

Kita menginginkan anak-anak yang berperilaku Baik, Empati, Smart, dan Tangguh (BEST).

Yaitu anak yang kokoh keimanannya, baik ibadahnya, dan mulia akhlaknya. Anak yang merasa diri berharga dan percaya diri. Anak yang cerdas : berfikir kritis dan solutif. Anak yang mampu berkomunikasi dengan baik, mandiri, bertanggung jawab pada Allah, diri sendiri, keluarga dan masyarakat, serta bijak berteknologi.

Zaman sudah berubah. Anak-anak kita adalah generasi Z dan Z' yang bermain, belajar, bahkan bernafas dengan teknologi. Sedangkan teknologi berkembang begitu cepatnya.

Oleh karena itu, sepakatkah kita bahwa untuk menjadi orangtua terbaik bagi anak-anak kita, kita sangat perlu mengikuti percepatan itu pula?

Terus update dan bersahabat dengan percepatan teknologi agar kita bisa menyelami kehidupan anak-anak kita.

Jika untuk menjadi seorang profesional saja kita tekun menuntut ilmu dan membekali diri, padahal kita bisa berhenti bekerja kapan saja. Bagaimana untuk sebuah pekerjaan yang tak pernah ada pensiunnya?

Tidak pernah ada kata terlambat untuk belajar dan kembali menjadi murid. Kita sangat perlu berubah dan terus menambah ilmu.

Terus tingkatkan kapasitas diri menjadi orangtua terbaik untuk generasi terbaik. Semoga dengan suasana jiwa yang positif dan berkumpul dengan orang-orang yang sama-sama mau belajar, kelak akan mempengaruhi jiwa anak-anak kita agar selalu dalam kebaikan.

Mau kah menjadi bagian dari energi kebaikan ini?

***
Mulai hari ini (14/06/16), kami akan memposting serial artikel setiap hari Selasa. Silakan dibagikan kepada saudara, sahabat, dan orangtua dari teman anak-anak kita. Because sharing is caring.


Ditulis Pada: 14 June 2016, Pukul: 06:59:12

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sarra Risman | Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi ‘anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa’, seperti doa-doa umum yang seri

Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi 'anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa', seperti doa-doa umum yang sering kita katakan ketika mendengar berita kelahiran seorang bayi. Dari saya kecil, ibu saya tampaknya sudah mengikuti 'developmental milestone' yang menjelaskan bahwa anak usia segini, seharusnya sudah bisa begini. Kami dapat tugas khusus masing-masing, seperti kakak jadi tukang cuci baju, saya ahli cuci kamar mandi, dan adik sapu dan pel. Tugas tersebut berotasi sesuai usia, kebutuhan, dan (karena kami hidup nomaden) tempat tinggal. Tentunya rumah di Amerika, yang tertutup karpet dari ujung ke ujung, tidak membutuhkan sapu dan pel. Tugas juga di bagi sesuai dengan kebutuhan, jadi ketika ramadhan tiba, dan pembantu pulang, kakak bertugas menyiapkan sahur, saya dan adik merapihkan setelah sahur. Siangan dikit kakak memasak, adik mencuci, saya tukang setrika. Sampai kesepakatan rotasi berikut...

Silmy Risman | #SilmyShares:

#SilmyShares: Bersyukur itu seperti cinta. Tidak banyak makna jika cuma berbentuk kata-kata. Ia lebih nyata jika ditunjukkan lewat perilaku dan sikap kita. Saya beri contoh ya. Kalau ada pasangan A, yang suaminya bilang "I love you deh Say.." setiap hari tapi sikapnya kasar atau bahasa tubuhnya tidak hangat dan sering nyindir atau marah.. Dan pasangan B yang suaminya jarang memberikan kata-kata cinta tapi sering senyum, suka memuji dan ringan dalam membantu urusan anak atau pekerjaan di rumah.. Dalam jangka panjang, pilih mana? Nah sama dengan bersyukur. Kalau cuma menyatakan diri sebagai hamba tuhan yang bersyukur tapi setiap hari mengeluh, iri, dan ngomongin orang... Mana syukurnya? Nggak dihitung dan pastinya (apalagi bagi orang-orang sekitar) tidak terasa. Syukur itu harus sempat. Jangan hanya dalam doa setelah shalat (yang kadang itupun masih suka telat hehehe). Mulai bersyukur dari hal-hal kecil; masih punya tempat tinggal, bisa garuk kalau gatal (bayangin kalo nggak ...

Wina Risman | Memasukkan anak sekolah:

Memasukkan anak sekolah: Untuk anak atau ibu? Iya, saya paham. 10 menit keheningan terkadang sangat diperlukan seorang ibu,untuk tetap waras. Apalagi mereka yang mempunyai dua balita dibawah satu atap. Rangkaian pekerjaan yang sudah tersusun rapi di otak, detik ketika kita bangun pagi, seakan sudah menjadi otomatis tersedia. Satu menyambung dengan yang lainnya, hingga tak terasa, sudah waktunya mentari tenggelam lagi. Bahkan, setelah malampun tiba, masih ada sederet dua benda tersisa yang mesti diselesaikan, sebelum akhirnya tubuh mendapatkan haknya untuk baring dan kaki untuk selonjoran. Iya saya paham. Hanya saja, berangkat dari kepenatan harian yang sudah menahun, membuat seorang ibu seakan-akan merasa punya alasan, kenapa buah hatinya mesti segera disekolahkan. Sudah bosan di rumah Biar belajar bergaul Menstimulus berbicara Belajar sharing dan bermain bersama Anaknya sudah minta dll, dll... Sebetulnya, jika ditanya, terutama pada ibu yang menyekolahkan anaknya diusia 3th atau sebe...