Langsung ke konten utama

[ANAK KITA, GADGET DAN SOSMED]

[ANAK KITA, GADGET DAN SOSMED]
(Part 2)

Hari terasa seperti berlari. Begitulah, karena hidup sudah semakin sibuk, sering kita tidak menyadari bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak-anak kita telah merubah klassifikasi mereka dari anak-anak menjadi pra atau remaja. Tubuhnya tambah tinggi, wajah mulai padat, tungkai, tangan dan kaki memanjang, tubuh berbentuk. Karena sibuk, perubahan itu tidak begitu dikenali oleh orang tuanya. Tapi untuk kami yang sesekali bertemu dengan cucu-cucu, ini adalah kenyataan yang menghentak jiwa ketika hanya jarak empat bulan, bertemu lagi cucu sulung kami tingginya melampaui saya hampir sejengkal! Bahasa agamanya anak-anak ini memasuki tahapan akil baligh! Mereka menghadapi atau menjalani masa pubertasnya.

Seiring itu, berbagai hal terjadi termasuk kebiasaan mereka menggunakan Gadget dan Sosmed. Saya ingin berbagi dengan Anda pengalaman saya beberapa hari yang lalu dalam versi yang lain.
Duduklah disamping kiri saya seorang ayah separuh baya, sekitar awal 40an. Saya sudah terlebih dahulu ngobrol panjang dengan anak sulungnya, laki-laki kelas 9 yang dikeluhkan ibunya kecanduan games.

S (saya) : "Apa yang Bapak keluhkan dengan anak lelaki sulung Bapak, Pak?"
B (Bapak) : "Tidak ada Bu, hanya suka main games…"
S : "Apakah menurut Bapak kesukaannya main Games itu tidak serius?"
B : "Yah biasa saja Bu, karena kalau saya ajak sholat ke mesjid masih mau dan masih
ngaji kalau saya suruh".
S : "Tahukah Bapak bahwa anak Bapak bermain Games online pakai wifi tetangga sampai 45 -65 jam per pekan, sedangkan jumlah jam belajar disekolah hanya 36.5 jam se-pekannya?"
B : "Haah? Tidak, Bu"
S : "Menurut ahli tentang kecanduan Games namanya Graham Harding Pak, kalau main games diatas 20 jam sepekan seseorang sudah kecanduan Pak. Jadi menurut Bapak, dengan lamanya anak Bapak bermain apakah anak Bapak sudah kecanduan belum, Pak?".
B : "Yah sudah lah, Bu!"
S : "Apakah Bapak tahu anak Bapak sudah ikut lomba games online se-Asia
Tenggara dengan timnya dari dua negara tetangga?"
B : "Oh, gitu ya Bu.. Nggak, Bu!"
S : (Gubraaaaak … Dalam hati saya) "Yang Bapak tahu apa.. Paaak?

Saya pastikan kalau saya tanyakan lebih lanjut tentang anaknya, saya akan mendapatkan jawabannya yang menunjukkan sama abainya beliau terhadap berbagai bentuk kebiasaan dan dampak buruk dari kecanduan lainnya yang dialami anaknya kini, akibat salah guna dari gadget dan sosmed yang difasilitasinya atas dasar kasih dan cinta.

Saya bersandar sejenak, menghela nafas panjang dan terdiam….. menyeru Allah… Ruang praktek saya yang hening bertambah hening. Biarlah.. Bapak itu juga memerlukan waktu merenungi kondisi anaknya, sementara saya menata rasa. Menari-nari di benak saya gambaran berapa juta Ayah dan Ibu diluar sana yang setara sikapnya dengan Bapak muda di depan saya ini.

Abai, tidak tahu, anggap enteng, merasa aman, anak saya Oke Oke saja, menganggap apa yang dilakukan anak dan remajanya sesuatu yang biasa untuk anak seumurannya, gaptek – jadinya merasa berat dan terbebani sehingga gak sanggup dan… menyerah pada keadaan.. Semua itu adalah akar tunggal dan akar majemuk dari berbagai masalah dan bencana yang sekarang sedang kita alami…

Langsung teringat oleh saya kata-kata pengantar teman saya Mark B. Kastleman untuk bukunya yang edisi bahasa Indonesia : "Bangkit dan sadarlah! Pornografi di Internet BUKANLAH sebuah rekreasi yang tidak berbahaya. Ia adalah tsunami "SPIRITUAL DAN MORAL" mengerikan yang akan menyapu seluruh bangsa Anda. Menghancurkan siapapun yang dilewatinya. Jika tidak segera ditangani ia akan menghancurkan semua orang dan segala sesuatu yang anda sangat sayangi. Dan yang paling rentan dan rapuh dalam masyarakat Anda adalah mereka yang berada dalam bahaya terbesar yaitu anak-anak dan remaja anda, satu satunya masa depan bangsa anda!".
Huuuh !

JADI BAGAIMANA MENGHADAPI ANAK REMAJA KITA DENGAN GAMES DAN SOSMED-NYA?

(1.) BANGUN. Marilah kita saling membangunkan diri sendiri, pasangan, saudara kandung dan ipar, orang tua (bagi mereka yang menitipkan anaknya pada kakek neneknya), teman & tetangga kita dari > pingsan, abai dan anggap enteng terhadap kebiasaan anak dalam menggunakan gadgetnya. Bagaimana dahsyatnya dampak negatif dari games dan sosmed yang akan kita bahas lebih lanjut dibawah ini.

(2.) ANAK KITA BUKAN MILIK KITA. Kita harus menyadari bersama, bahwa anak kita bukanlah milik kita. Jadi, jangan sampai mereka di anugrahkan kepada kita dalam keadaan sempurna oleh-Nya, namun saat kita "pulangkan" ada yang cedera : otak atau jiwanya.

(3.) PERBAIKI KOMUNIKASI. Untuk bisa membicarakan atau mengatur ulang serta membatasi penggunaan gadget dan sosmed dengan anak, nampaknya terlebih dahulu kita harus berupaya untuk memperbaiki komunikasi agar mampu menghangatkan kembali hubungan dan membuat kita dapat menyelami sejauh mana keterlibatan dan ketergantungan anak kita dengan kedua hal tersebut dan bagaimana perasaannya.

(4.) LIHAT PENGASUHAN MASA KECILNYA. Mari menoleh kembali ke pengasuhan masa kecilnya, apa saja yang terabaikan dan yang tertinggal selama ini dan apa akibatnya bagi perkembangan kemampuan berfikir, harga dan kepercayaan diri serta pemahaman dan praktek agama dalam kehidupan sehari-hari yang berakibat pada kemampuan pengontrolan dirinya dari melakukan hal yang tidak patut bagi diri sendiri atau terhadap orang lain disekitarnya. Yang tidak kalah pentingnya adalah kemandirian dan kemampuan bertanggung jawab pada Allah, diri sendiri dan keluarga atas niat dan perbuatannya.

(5.) AYAH SADAR DAN TERLIBAT PENUH. Bagaimana peran dan keterlibatan ayah selama ini dalam pengasuhan. Semoga tidak seperti contoh Bapak diatas. Karena kalau ya, maka jarak terentang itu memerlukan waktu yang panjang untuk merapatkannya kembali. Sementara peran Ayah sangat signifikan dalam pengarahan, pengontrolan dan perbaikan anak, lepas dari anak kita lelaki atau perempuan. Ayah harus sadar dan terlibat penuh, kalau beliau tidak melakukan kedua hal tersebut, maka maka ibu dan orang disekitar harus berupaya karena Allah, untuk membantu menyadarkan Ayah tentang hal ini. Tak bisa tanpa Ayah…
Sebagai illustrasi, banyak sekali kasus terapi adiksi bermacam hal yang telah kami lakukan,sulit berhasil karena ayah tidak terlibat. Yang paling sulit adalah bila ketergantungan atau adiksi yang dialami anak tersebut, penyebab utamanya adalah BURUKNYA HUBUNGAN DENGAN AYAHnya… Hadeeuh.

(6.) KETAHUI DAMPAK. Perlu sekali teman-teman ketahui, dari evaluasi tim psikolog kami yang praktek di klinik selama dua tahun terakhir ini, terjadi perubahan drastis dari jenis kasus yang kami hadapi. Kebanyakan dari masalah yang dihadapi bukan lagi seputar ketergantungan atau adiksi pada internet, games atau sosmed lagi tapi sudah pada dampaknya…berupa : "M", menunjukkan dan mempertontonkan diri/exhibisonist, perilaku Gay dan Lesbi, seks suka sama suka, dan berbagai kenakalan remaja yang khas era digital yang sangat berbeda dengan kenakalan remaja ketika Anda muda dulu.. Jauuuh..

(7.) RENCANAKAN SOLUSI. Dengan membuat inventory terhadap berbagai hal diatas, teman-teman bisa membuat penjadwalan untuk memecahkan dan mengatasi masalah. Apa dulu yang dilakukan dan bagaimana melakukannya.

(8.) KENALI GAMES DAN HABIT BERMAIN. Sementara itu teman-teman perlu mengecek tentang : Games apa yang kini dimainkan anak, berapa jenis games dan berapa besar konten kekerasan, pornografi, atau konten tidak patut lainnya didalamnya. Hal lain adalah mencermati frekuensinya bermain, bukan tidak boleh sama sekali, tapi harus diperhatikan apa yang dinyatakan oleh ahli tentang games, Graham Harding, main games 15 jam dalam sepekan, kecanduan pathologis. Jadi usahakan dibawah 15jam/pekan. Untuk anak-anak dibawah 8 th sudah di uraikan dalam artikel sebelumnya. Hindari anak tidak bermain di hari sekolah/week days tapi di week end Anda bebaskan dan melampaui 20 – 30 jam untuk dua hari. Sama saja bohong.
Jangan kehilangan kata untuk membicarakan dampak negatifnya dengan anak. Walau anak lebih pintar dari kita, tapi Anda orang tuanya. Kalau sekarang saja Anda tak bisa mengendalikan bagaimana 3 – 5 tahun kedepan?
Untuk bisa membahasnya, Anda wajib menambah dan memperkaya diri dulu dengan pengetahuan tentang games yang tak mungkin saya uraikan dalam kolom ini. Untuk itu Anda dapat berkonsultasi dengan Tim kami yang ahli dalam hal ini, melalui : saudara Mumu CEO KAKATU atau cek website kakatu.web.id.

(9.) TEMUKAN BAKAT ANAK. Penting bagi Anda berusaha untuk mengenali bakat anak Anda dalam hal games ini. Seperti anak yang saya singgung diatas, sebenarnya selain ahli dalam main games, ternyata dia juga kreatif dalam desain dan sering dimintai teman-temannya untuk membuat logo grup olah raga atau hanya kelompok bermain. Sayang hal ini tidak dikenali dan dikembangkan oleh orang tuanya. Kata kuncinya, anak dibantu bukan hanya jadi konsumen atau pengguna, tapi jadi PENCIPTA atau PRODUSEN. Terserah apa, sejauh itu positif dan bermanfaat bukan yang berhubungan dengan maksiat.

(10.) ARAHKAN ANAK. Setelah Anda mengenali semuanya baru Anda mengarahkannya sesuai dengan temuan Anda. Jangan putus harapan terhadap rahmat Allah. Setelah semua usaha, tutuplah dengan doa…

Selamat berjuang – Pastikan anda Menang!

Salam hangat,
Elly Risman, Psi

#EllyRismanParentingInstitute
#ParentingEraDigital


Ditulis Pada: 08 August 2017, Pukul: 13:05:33

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sarra Risman | Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi ‘anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa’, seperti doa-doa umum yang seri

Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi 'anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa', seperti doa-doa umum yang sering kita katakan ketika mendengar berita kelahiran seorang bayi. Dari saya kecil, ibu saya tampaknya sudah mengikuti 'developmental milestone' yang menjelaskan bahwa anak usia segini, seharusnya sudah bisa begini. Kami dapat tugas khusus masing-masing, seperti kakak jadi tukang cuci baju, saya ahli cuci kamar mandi, dan adik sapu dan pel. Tugas tersebut berotasi sesuai usia, kebutuhan, dan (karena kami hidup nomaden) tempat tinggal. Tentunya rumah di Amerika, yang tertutup karpet dari ujung ke ujung, tidak membutuhkan sapu dan pel. Tugas juga di bagi sesuai dengan kebutuhan, jadi ketika ramadhan tiba, dan pembantu pulang, kakak bertugas menyiapkan sahur, saya dan adik merapihkan setelah sahur. Siangan dikit kakak memasak, adik mencuci, saya tukang setrika. Sampai kesepakatan rotasi berikut...

Silmy Risman | #SilmyShares:

#SilmyShares: Bersyukur itu seperti cinta. Tidak banyak makna jika cuma berbentuk kata-kata. Ia lebih nyata jika ditunjukkan lewat perilaku dan sikap kita. Saya beri contoh ya. Kalau ada pasangan A, yang suaminya bilang "I love you deh Say.." setiap hari tapi sikapnya kasar atau bahasa tubuhnya tidak hangat dan sering nyindir atau marah.. Dan pasangan B yang suaminya jarang memberikan kata-kata cinta tapi sering senyum, suka memuji dan ringan dalam membantu urusan anak atau pekerjaan di rumah.. Dalam jangka panjang, pilih mana? Nah sama dengan bersyukur. Kalau cuma menyatakan diri sebagai hamba tuhan yang bersyukur tapi setiap hari mengeluh, iri, dan ngomongin orang... Mana syukurnya? Nggak dihitung dan pastinya (apalagi bagi orang-orang sekitar) tidak terasa. Syukur itu harus sempat. Jangan hanya dalam doa setelah shalat (yang kadang itupun masih suka telat hehehe). Mulai bersyukur dari hal-hal kecil; masih punya tempat tinggal, bisa garuk kalau gatal (bayangin kalo nggak ...

Wina Risman | Memasukkan anak sekolah:

Memasukkan anak sekolah: Untuk anak atau ibu? Iya, saya paham. 10 menit keheningan terkadang sangat diperlukan seorang ibu,untuk tetap waras. Apalagi mereka yang mempunyai dua balita dibawah satu atap. Rangkaian pekerjaan yang sudah tersusun rapi di otak, detik ketika kita bangun pagi, seakan sudah menjadi otomatis tersedia. Satu menyambung dengan yang lainnya, hingga tak terasa, sudah waktunya mentari tenggelam lagi. Bahkan, setelah malampun tiba, masih ada sederet dua benda tersisa yang mesti diselesaikan, sebelum akhirnya tubuh mendapatkan haknya untuk baring dan kaki untuk selonjoran. Iya saya paham. Hanya saja, berangkat dari kepenatan harian yang sudah menahun, membuat seorang ibu seakan-akan merasa punya alasan, kenapa buah hatinya mesti segera disekolahkan. Sudah bosan di rumah Biar belajar bergaul Menstimulus berbicara Belajar sharing dan bermain bersama Anaknya sudah minta dll, dll... Sebetulnya, jika ditanya, terutama pada ibu yang menyekolahkan anaknya diusia 3th atau sebe...