Langsung ke konten utama

[ANAK KITA, GADGET DAN SOSMED] (Part 3) Sebuah pesan singkat dari seorang Ibu masuk ke HP saya yang isinya seperti berikut : “Ibu Elly, saya prihatin sekali Bu melihat perkembangan yang sangat negati

[ANAK KITA, GADGET DAN SOSMED]
(Part 3)

Sebuah pesan singkat dari seorang Ibu masuk ke HP saya yang isinya seperti berikut :
"Ibu Elly, saya prihatin sekali Bu melihat perkembangan yang sangat negatif dari kelakuan remaja kita di sosmed, apalagi si X dan Y itu Bu… astaghfirullaaah. Kelakuan anak laki-laki dan perempuan sama saja menyimpangnya Bu. Apa Ibu gak bisa bantu untuk laporkan ke Menkominfo, Bu? Itu kan ditiru anak-anak dan sangat massive Bu?"
Saya tercenung sejenak. Saya akhirnya menjawab singkat, bahwa saya sudah lapor dan membicarakan dengan beberapa teman sesama anggota Panel Penanganan situs Internet bermuatan Negatif, tapi tak berkelanjutan.
Saya berharap dengan menuliskannya disini dan menyampaikannya dalam seminar-seminar saya, insha Allah akan lebih berarti karena saya bicara dengan Anda satu-satu sebagai orang tua..

Mengapa anak dan remaja sangat mudah terlibat hal yang negatif di sosmed?

(1.) Umumnya teman-teman mereka semua menggunakan sosmed. Awalnya karena berkaitan dengan pelajaran, kegiatan kelompok belajar dsbnya. Sulit sekali bila anak tidak bisa bergabung dan "tidak sama", mereka tidak sanggup menanggungkan resiko sebagai "anak yang beda banget", " aneh" atau "ketinggalan" dan berbagai gelar lainnya yg segera mereka peroleh dari teman temannya.

(2.) Apa saja yang dilakukan di sosmed selain sangat menarik juga sangat menantang.

(3.) Kebutuhan untuk mendapat perhatian, jadi popular, pengen exist, yang merupakan ciri khusus remaja, sangat mungkin terpenuhi disini. Apalagi bila anak atau remaja ini memang sering "terabaikan" sengaja atau tidak sengaja oleh orang tuanya. Kebutuhan dasar seperti perhatian, kasih, cinta dan dialog tidak didapatkan anak sehari harinya.

(4.) Kompetisi yang menaikkan adrenalin, memang di gemari remaja: Bagaimana caranya bisa lebih dari yang lain, menang atau merasa hebat dan juara. Maka bila anak-anak ini tidak mendapat hal-hal mendasar yang kita bahas diatas dan dalam artikel sebelumnya, tidak heran bila seperti aduan Ibu diatas tadi : kita tidak mengerti mengapa anak mampu melakukan hal-hal yag tidak masuk akal sehat kita sebagai orang tua!

(5.) Keadaan menjadi lebih buruk bila dalam proses pengasuhannya, anak dan remaja tidak diajarkan untuk terbiasa BMM : Berfikir, Memilih dan Mengambil keputusan untuk dan atas nama dirinya sendiri. Yah, dengan kombinasi hal-hal 1 -4 diatas kita faham, bila kemudian anak terhanyut dalam derasnya arus sosmed ini…

BAGAIMANA MENGHADAPI ANAK DAN REMAJA KITA DENGAN SOSMEDNYA?

Riset yang dilakukan di YKBH menunjukkan yang menjadi follower dari tokoh-tokoh remaja di sosmed yang heboh itu mulai dari berusia 8 - 19 tahun! Saya menjadi terusik jadinya untuk mengetahui usia berapa anak anak tersebut di beri HP?

Jadi, beberapa langkah yang saya usulkan adalah sebagai berikut:

(1.) Kita ingat kembali usia anak mendapat HP seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya. Apakah sudah ada kesepakatan tentang dan aturan serta konsekuensi. Bila belum hal ini lebih dulu yang harus ditegakkan kembali.

(2.) Semua hal, baru bisa dibicarakan dengan anak bila komunikasi baik. Bila selama ini komunikasi merupakan kendala berarti mulai dengan memperbaikinya terlebih dahulu.

(3.) Bila komunikasi sudah baik , maka kita bisa mendiskusikan sosmed apa saja yang digunakan anak: BBM, Line, Wassap, FB, Instagram, Twitter, Path, You tube, Snap Chat, Musically, Ask FM, OMGLE dll?

(4.) Memang ini sangat tidak mudah, apalagi untuk mengetahui apa yang mereka lakukan, dengan siapa mereka berkomunikasi dlsbnya. Hal ini juga sangat tergantung pada usia anak, kecerdasannya, kehidupan emosi, kehangatan keluarga, pengetahuan akan batasan agama tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam menggunakan semua fasilitas itu dan tentunya kendali orang tua.

(5.) Orang tua harus mempuyai tekad untuk meningkatkan diri dan mengetahui mengenai semua hal diatas. Untuk mampu menghadapi, mendampingi dan mengawasi anak kita harus belajar dan pintar, walau tak akan mungkin setaraf dengan mereka.

(6.) Kita harus berupaya untuk memperoleh bantuan dari mereka yang lebih ahli agar kita bisa mengikuti apa kegiatan yang dilakukan anak kita di dunia maya. Semua dilakukan dengan meminta pertolongan Allah karena kita harus mempertanggung jawabkan anak kita kepada-Nya.

(7.) Ayah adalah yang paling berusaha untuk membicarakan hal ini dengan anaknya. Apa saja hal yang positif dan negatif dari sosmed ini. Kalau Ayah merasa sulit karena gaptek, maka Ayah bisa mengajak orang lain untuk membantu beliau membahasnya bersama dengan anak. Bila dicermati, anak-anak yang menampilkan dirinya secara negatif di sosmed ini adalah anak-anak yang terkesan memang tidak sempat terperhatikan oleh orang tuanya secara seksama.

(8.) Kalau anak berusia diatas 10 th dan sudah mengenal sosmed, apalagi juga mengenal anak-anak yang menjadi "tokoh negatif" itu, maka tidak ada salahnya orang tua mengajak anak bicara dan membahas tentang ini. Lebih baik orang tua mendiskusikannya dari pada anak kita di arahkan oleh orang lain dan tidak memperoleh pengarahan dari ortunya. Kita bersama mencari tahu siapa orang ini, apa yang mereka lakukan, menggunakan media apa saja, apakah kira-kira alasannya, mengapa kira-kira mereka dibolehkan oleh orang tuanya, atau orang tuanya tidak tahu?

(9.) Lalu kita juga bisa membahas dengan anak, apakah semua hal yang ditampilkan oleh orang tersebut sesuatu yang wajar atau tidak? Benar menurut agama atau nilai budaya serta kesopan santunan atau tidak? Apakah mereka melakukannya sendiri atau ada orang lain yang ikut membantu. Kalau begitu ini sebuah usaha bersama dong? Dengan sekelompok orang? Perlu biaya atau tidak untuk melakukan semua itu? Kira-kira orang ini ingin mendapatkan keuntungan materil atau finasial tidak dari apa yang dilakukannya? Kalau begitu ini bisnis atau bukan? Apakah benar memperoleh rezeki dari melakukan hal buruk dan membujuk atau mempengaruhi orang untuk melakukan sesuatu perbuatan maksiat itu benar atau tidak? Patut tidak kita ikut2an dan menjadikan cara hidup itu jadi gaya hidup kita? Mengapa?

(10.) Banyak sekali orang tua menyangka, bahwa dengan menasihati anak sudah cukup. Keliru! Anak dan remaja sering tidak menyadari apa yang mereka kerjakan. Jadi, faktor mengajarkan sering sekali hilang dalam pengasuhan. Termasuk didalamnya penggunaan kalimat bertanya seperti yg di contohkan diatas.

(11.) Mengapa harus banyak menggunakan kalimat bertanya? Karena bila seseorang bertanya pada kita, kita harus apa? : Ya menjawab! Untuk mampu memberikan jawaban, kita harus berfikir dan menengok kedalam diri kita sendiri. Jadi kalimat bertanya menimbulkan kesadaran diri!
Ini yang penting. Kita membangun kesadaran diri anak kita tentang berbagai hal disekitar mereka. Karena kita tidak akan selalu bersama mereka.

(12.) Setelah semuanya kita bahas dan anak mengerti, baru kemudian kita masuk ketahapan berikutnya untuk mengajarkan anak kita bagaimana menangani sosmednya. Dibawah semua berita ataupun foto, selalu ada tanda : Like, Comment dan Share. Kita ambil sebuah contoh tentu yang tidak vulgar lalu kita tanyakan pada anak apa yang patut dilakukan: Share, Comment atau kita share? Mengapa?

(13.) Banyak sekali orang tua lupa mengingatkan dan mengajarkan pada anaknya bagaimana agar tidak terlibat, ikut-ikutan atau tidak terpancing atau marah dengan ungkapan kasar, kotor dan menekan dari tokoh tersebut. Karena kalau kita terpancing emosi, balik mengatai atau membully orang tersebut, maka dia semakin popular dan senang.

(14.) Untuk itu kita memperkenalkan dan jelaskan satu persatu pada anak kita icon lain yang ada di sosmed walau kecil tandanya tapi tersedia dibagian atas, yaitu: Report, Block, Hide posting, dan Unflollow!

(15.) Lalu kembali ke salah satu contoh berita atau gambar, tanyakan menurut pendapatnya, pilihan mana yang kita ambil? : Report, Block, Hide posting, dan Unflollow. Mengapa?

(16.) Inilah yang harus terus-menerus kita lakukan bersama dengan anak sehingga terbentuk kebiasaan baik dan sehatnya bukan saja dalam menggunakan sosmed, tapi juga insha Allah gaya hidup yang sehat di Era digital..

"Cukuplah anak orang saja yang melakukan hal yang buruk, jangan anak kita!"

Selamat berjuang, demi pertanggung jawaban pada Allah, kita pasti bisa!

Salam hangat,
Elly Risman, Psi

#EllyRismanParentingInstitute
#ParentingEraDigital


Ditulis Pada: 09 August 2017, Pukul: 07:39:04

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sarra Risman | Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi ‘anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa’, seperti doa-doa umum yang seri

Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi 'anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa', seperti doa-doa umum yang sering kita katakan ketika mendengar berita kelahiran seorang bayi. Dari saya kecil, ibu saya tampaknya sudah mengikuti 'developmental milestone' yang menjelaskan bahwa anak usia segini, seharusnya sudah bisa begini. Kami dapat tugas khusus masing-masing, seperti kakak jadi tukang cuci baju, saya ahli cuci kamar mandi, dan adik sapu dan pel. Tugas tersebut berotasi sesuai usia, kebutuhan, dan (karena kami hidup nomaden) tempat tinggal. Tentunya rumah di Amerika, yang tertutup karpet dari ujung ke ujung, tidak membutuhkan sapu dan pel. Tugas juga di bagi sesuai dengan kebutuhan, jadi ketika ramadhan tiba, dan pembantu pulang, kakak bertugas menyiapkan sahur, saya dan adik merapihkan setelah sahur. Siangan dikit kakak memasak, adik mencuci, saya tukang setrika. Sampai kesepakatan rotasi berikut...

Silmy Risman | #SilmyShares:

#SilmyShares: Bersyukur itu seperti cinta. Tidak banyak makna jika cuma berbentuk kata-kata. Ia lebih nyata jika ditunjukkan lewat perilaku dan sikap kita. Saya beri contoh ya. Kalau ada pasangan A, yang suaminya bilang "I love you deh Say.." setiap hari tapi sikapnya kasar atau bahasa tubuhnya tidak hangat dan sering nyindir atau marah.. Dan pasangan B yang suaminya jarang memberikan kata-kata cinta tapi sering senyum, suka memuji dan ringan dalam membantu urusan anak atau pekerjaan di rumah.. Dalam jangka panjang, pilih mana? Nah sama dengan bersyukur. Kalau cuma menyatakan diri sebagai hamba tuhan yang bersyukur tapi setiap hari mengeluh, iri, dan ngomongin orang... Mana syukurnya? Nggak dihitung dan pastinya (apalagi bagi orang-orang sekitar) tidak terasa. Syukur itu harus sempat. Jangan hanya dalam doa setelah shalat (yang kadang itupun masih suka telat hehehe). Mulai bersyukur dari hal-hal kecil; masih punya tempat tinggal, bisa garuk kalau gatal (bayangin kalo nggak ...

Wina Risman | Memasukkan anak sekolah:

Memasukkan anak sekolah: Untuk anak atau ibu? Iya, saya paham. 10 menit keheningan terkadang sangat diperlukan seorang ibu,untuk tetap waras. Apalagi mereka yang mempunyai dua balita dibawah satu atap. Rangkaian pekerjaan yang sudah tersusun rapi di otak, detik ketika kita bangun pagi, seakan sudah menjadi otomatis tersedia. Satu menyambung dengan yang lainnya, hingga tak terasa, sudah waktunya mentari tenggelam lagi. Bahkan, setelah malampun tiba, masih ada sederet dua benda tersisa yang mesti diselesaikan, sebelum akhirnya tubuh mendapatkan haknya untuk baring dan kaki untuk selonjoran. Iya saya paham. Hanya saja, berangkat dari kepenatan harian yang sudah menahun, membuat seorang ibu seakan-akan merasa punya alasan, kenapa buah hatinya mesti segera disekolahkan. Sudah bosan di rumah Biar belajar bergaul Menstimulus berbicara Belajar sharing dan bermain bersama Anaknya sudah minta dll, dll... Sebetulnya, jika ditanya, terutama pada ibu yang menyekolahkan anaknya diusia 3th atau sebe...