Langsung ke konten utama

ALQURAN DAN PREFRONTAL CORTEX

ALQURAN DAN PREFRONTAL CORTEX
.
Oleh Perwitasari, Psikolog
Trainer Yayasan Kita dan Buah Hati
.
.
Sebetulnya sudah sejak lama saya merenung dan berpikir tentang metode mengajarkan Al Qur'an yang sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah dan para sahabat sehingga hasilnya mengagumkan. Al Qur'an bukan hanya dibaca dan di hafal tetapi juga menjadi pembentuk karakter. Generasi terdahulu yang aqidah dan akhlaqnya adalah AlQur'an.

Waktu saya masih menggeluti bidang pendidikan Islam, yang juga mengajarkan Al Qur'an, saya memikirkan beberapa hal :

1. Mengapa banyak anak yang tidak suka belajar AlQur'an?
2. Mengapa anak-anak lebih suka belajar matematika, bahasa Inggris dll?
3. Mengapa saat mereka sudah bisa membaca AlQur'an, tidak membuat mereka suka membaca Al Qur'an?
4. Mengapa ketika hafalan mereka bertambah, tidak membuat sikap dan perilakunya menjadi lebih baik?
5. Apa yang terlewat? Apa yang kurang dalam mengajarkan Al Qur'an?

Pertanyaan itu kembali menguat saat kemudian saya bekerja di lembaga konsultasi anak dan keluarga, banyak menangani anak-anak yang hafal Al Qur'an berjuz-juz tapi mengalami kecanduan p*rn* bahkan ada yang kecanduan s*x.

Saya mencoba memikirkan apa yang menyebabkan masalah ini?

AlQur'annya pastilah sudah bagus. Itu tidak usah kita ragukan lagi. Saya sangat yakin bahwa jika AlQur'an itu diajarkan pada anak tentu akan memberi kebaikan yang banyak. Menghafal Al Quran juga bagus pastilah.

Anaknya pun tidak masalah. Karena saya percaya anak itu sesungguhnya fitrah/suci. Kalau kita membimbing dan mengarahkan dengan benar, sesuai dengan fitrah anak, pastilah anak akan menjadi anak yang sholeh dan sholihat. Anak siapapun juga. Insya Allah.

Lalu saya belajar tentang neurosains. Saya kemudian menjadi tahu bahwa ternyata bagian otak yang mengatur gerak, emosi/perasaan, ingatan termasuk hafalan, dan yang membuat anak punya kemampuan membedakan yang benar dan salah itu berbeda letaknya namun bisa saling berhubungan.

Di bagian otak depan ada yang disebut Prefrontal Cortex (PFC), yang merupakan bagian otak yang membedakan manusia dengan hewan.

PFC ini lah direktur otak kita, yang mengatur bagaimana manusia berperilaku, mengontrol emosi, gerak dan kemampuan menimbang benar dan salah.

Jadi untuk sampai membentuk sikap dan perilaku haruslah dengan menstimulasi PFC ini.

Mulai saya menemukan, mengapa anak tidak cukup hanya membaca dan menghafal Al Qur'an saja, karena hafalan hanya sebagian dari cara kerja otak kita. Tidak cukup menstimulasi hingga membuat PFC berfungsi.

Jadi, harus ditambah dengan emosi/perasaan senang saat menghafalkan atau membacanya, ada gerak yang dilakukan untuk mengekspresikannya, dan ada tafakur yaitu kemampuan berpikir yang mencerna dan memaknai hafalan/bacaan AlQur'an sehingga memang seluruh bagian otak terstimulasi dan dapat mencapai stimulasi PFC.

Dengan demikian AlQur'an dapat terrefleksi dalam sikap dan perilaku.

Bila kita mempelajari bagaimana Rasulullah mengajarkan AlQur'an, kita bisa memahami mengapa Rasulullah tidak melakukan drilling yang memaksa semua sahabat untuk menghafal AlQur'an..

Yang dilakukan adalah memberi kesadaran bahwa Al Qur'an adalah pedoman hidupnya. Bahwa Allah memberikan AlQur'an untuk mengarahkan/memberi petunjuk bagaimana seharusnya agar selamat hidup di dunia dan di akhirat nanti.

Anak-anak pasti akan suka dan penuh rasa ingin tahu bila mereka paham bahwa AlQur'an adalah petunjuk. Buktinya mereka selalu antusias membaca petunjuk jalan atau lembaran peta petunjuk lokasi dan arah di suatu tempat.

AlQur'an adalah bentuk cinta dan kasih sayang Allah pada kita manusia, agar selamat di dunia dan akhirat. Kita bisa analogikan dengan petunjuk jalan dari pihak yang ingin menjaga keselamatan kita, tentu bila kita ikuti akan membuat kita aman dan nyaman. Kalau di taman safari, tidak mengikuti petunjuk kan bisa-bisa kita dimangsa hewan buas. Naudzubillah min dzalik.

Ketika kesadaran itu sudah muncul maka membuat rasa ingin tahu mereka juga pasti muncul. Oo jadi apa petunjuknya?
Tentu ini akan membuat kita ingin membacanya kan?
Rasulullah menumbuhkan kesadaran para sahabat untuk memahami AlQur'an.

Cuma disini bedanya yang harus kita sadari.

Ketika para sahabat memahami AlQur'an, mereka belajar dengan mendengarkan dulu dari Rasulullah. Lalu Rasulullah meminta beberapa sahabat untuk menuliskan dan menghafal agar AlQur'an bisa terjaga nash nya. Bisa dibacakan pada sahabat dan generasi lain dengan teks yang benar.

Lalu setelah itu baru para sahabat membaca dan menghafal AlQur'an sebagai upaya agar lebih memahami AlQur'an sehingga bisa mereka amalkan.

Selain itu para sahabat langsung bisa memahami Al Qur'an karena mereka mengerti bahasa Arab sebagai bahasa AlQur'an. Kalaupun ada yang tidak mereka pahami, mereka akan bertanya langsung pada Rasulullah.

Tujuan membaca dan menghafal Al Qur'an adalah agar mereka bisa lebih memahami, menjiwai isi kandungan Al Qur'an agar dapat di amalkan sehari-hari.

Nah sekarang pada anak-anak kita apakah tahapan ini (dimana kita membacakan dan membuat mereka tahu dan paham apa yang di bacakan padanya itu) sudah kita lakukan? Apakah kita mengajarkan bahwa membaca dan menghafalkan Al Qur'an agar bisa memahami dan kemudian bisa mengamalkannya sesuai dengan tujuan diturunkannya Al Qur'an sebagai petunjuk/huda?

Kita melewati tahapan ini, tapi langsung meminta mereka membaca dan menghafal AlQur'an. Mereka anak yang patuh. Mereka tahu itu yang akan menyenangkan hati orang tua dan gurunya. Mereka maksimalkan kemampuan sehingga di usia belia mereka sudah mampu membaca dan menghafal Al Qur'an dengan baik.

Tapi kalau mereka tidak dibimbing untuk mencintai AlQur'an sebagai petunjuk hidup, tidak memahami apa yang mereka baca dan mereka hafal. Tidak dicontohkan bagaimana berperilaku sesuai Al Qur'an, apakah akan terbentuk karaktek Qur'an dalam diri mereka? Apakah sikap dan perilaku mereka akan sesuai dengan Al Qur'an? Mari kita renungkan bersama.

Berharap para pakar AlQur'an dan para pakar pendidikan, para ustadz-ustadzah, para orangtua dan juga para psikolog, para ahli neurosains dapat bersama-sama memikirkan dan merumuskan bagaimana tahapan dan metode mengajarkan AlQur'an agar bisa membentuk karakter (sikap dan perilaku) yang sesuai dengan Al Qur'an, bukan sekedar bisa membaca dan punya hafalan yang banyak.

Tentu tidak lepas dari bagaimana Rasulullah mencontohkan pengajaran Al Qur'an yang dilakukan kepada para sahabat. Yang sudah terbukti memang bersikap dan berperilaku sesuai Al Qur'an.

#SpiritualBasedParenting
#BrainBasedParenting
#YKBH
#YayasanKitadanBuahHati


Ditulis Pada: 18 May 2017, Pukul: 06:45:08

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sarra Risman | Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi ‘anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa’, seperti doa-doa umum yang seri

Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi 'anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa', seperti doa-doa umum yang sering kita katakan ketika mendengar berita kelahiran seorang bayi. Dari saya kecil, ibu saya tampaknya sudah mengikuti 'developmental milestone' yang menjelaskan bahwa anak usia segini, seharusnya sudah bisa begini. Kami dapat tugas khusus masing-masing, seperti kakak jadi tukang cuci baju, saya ahli cuci kamar mandi, dan adik sapu dan pel. Tugas tersebut berotasi sesuai usia, kebutuhan, dan (karena kami hidup nomaden) tempat tinggal. Tentunya rumah di Amerika, yang tertutup karpet dari ujung ke ujung, tidak membutuhkan sapu dan pel. Tugas juga di bagi sesuai dengan kebutuhan, jadi ketika ramadhan tiba, dan pembantu pulang, kakak bertugas menyiapkan sahur, saya dan adik merapihkan setelah sahur. Siangan dikit kakak memasak, adik mencuci, saya tukang setrika. Sampai kesepakatan rotasi berikut...

Silmy Risman | #SilmyShares:

#SilmyShares: Bersyukur itu seperti cinta. Tidak banyak makna jika cuma berbentuk kata-kata. Ia lebih nyata jika ditunjukkan lewat perilaku dan sikap kita. Saya beri contoh ya. Kalau ada pasangan A, yang suaminya bilang "I love you deh Say.." setiap hari tapi sikapnya kasar atau bahasa tubuhnya tidak hangat dan sering nyindir atau marah.. Dan pasangan B yang suaminya jarang memberikan kata-kata cinta tapi sering senyum, suka memuji dan ringan dalam membantu urusan anak atau pekerjaan di rumah.. Dalam jangka panjang, pilih mana? Nah sama dengan bersyukur. Kalau cuma menyatakan diri sebagai hamba tuhan yang bersyukur tapi setiap hari mengeluh, iri, dan ngomongin orang... Mana syukurnya? Nggak dihitung dan pastinya (apalagi bagi orang-orang sekitar) tidak terasa. Syukur itu harus sempat. Jangan hanya dalam doa setelah shalat (yang kadang itupun masih suka telat hehehe). Mulai bersyukur dari hal-hal kecil; masih punya tempat tinggal, bisa garuk kalau gatal (bayangin kalo nggak ...

Wina Risman | Memasukkan anak sekolah:

Memasukkan anak sekolah: Untuk anak atau ibu? Iya, saya paham. 10 menit keheningan terkadang sangat diperlukan seorang ibu,untuk tetap waras. Apalagi mereka yang mempunyai dua balita dibawah satu atap. Rangkaian pekerjaan yang sudah tersusun rapi di otak, detik ketika kita bangun pagi, seakan sudah menjadi otomatis tersedia. Satu menyambung dengan yang lainnya, hingga tak terasa, sudah waktunya mentari tenggelam lagi. Bahkan, setelah malampun tiba, masih ada sederet dua benda tersisa yang mesti diselesaikan, sebelum akhirnya tubuh mendapatkan haknya untuk baring dan kaki untuk selonjoran. Iya saya paham. Hanya saja, berangkat dari kepenatan harian yang sudah menahun, membuat seorang ibu seakan-akan merasa punya alasan, kenapa buah hatinya mesti segera disekolahkan. Sudah bosan di rumah Biar belajar bergaul Menstimulus berbicara Belajar sharing dan bermain bersama Anaknya sudah minta dll, dll... Sebetulnya, jika ditanya, terutama pada ibu yang menyekolahkan anaknya diusia 3th atau sebe...