Langsung ke konten utama

Allah Akbar Allah Akbar Allah Akbar… Laa ilaa ha illallah Allahu Akbar Allah Akbar walillahil hamd. Yayasan Kita dan Buah Hati mengucapkan selamat merayakan Idul Adha 10 Dhulhijjah 1438 H. Mohon maa

Allah Akbar Allah Akbar Allah Akbar… Laa ilaa ha illallah Allahu Akbar
Allah Akbar walillahil hamd.

Yayasan Kita dan Buah Hati mengucapkan selamat merayakan Idul Adha 10 Dhulhijjah 1438 H.

Mohon maafkan kami lahir batin.
Semoga Allah menerima bukan saja qurban dan puasa Arafah kita semua, tetapi juga semua yang telah teman-teman korbankan untuk mengasuh si buah hati dengan sebaik mungkin.

Semoga Allah menghadiahkan akhir yang baik dan menyenangkan dari semua usaha tersebut di dunia dan akhirat. Semoga Allah kumpulkan kita di syurga firdausNya bukan saja dengan pasangan, orang tua, kakek nenek, anak dan cucu cicit kita tapi juga hamba hambaNya yang shalih – Amin.

[TEGA]

Elly Risman, Psi
(Direktur, Psikolog dan Trainer Yayasan Kita dan Buah Hati)

Tega ..
Tega saya pilih menjadi topik kali ini karena semakin banyak saya menemukan orang tua yang tega dalam dua bentuk :
1. Orang tua yang tega atau abai benar dengan anak-anaknya.
2. Orang tua yang justru tidak mampu tega sama sekali terhadap anak-anaknya.

KELOMPOK TEGA PERTAMA

Kelompok yang pertama adalah mereka yang benar-benar membiarkan diri mereka tidak sempat, baik secara fisik, emosional dan spiritualnya, memenuhi kebutuhan anak-anak mereka. Biasanya berbagai rationalisasi digunakan untuk membuat apa yang mereka lakukan jadi sesuatu yang logis dan pantas untuk diterima.

Teganya mereka terhadap anak-anak mereka sendiri sehingga membuat anak-anaknya tidak mendapatkan kelengketan, kasih sayang dan perhatian yang sepatutnya mereka terima. Setiap hari, Allah... sejak bayi lahir, hidup kita sudah tergesa-gesa, bukan hanya orang tua yang tergesa-gesa tapi mereka juga menggesa-gesakan hidup anaknya. Mulai dari bangun pagi, tergesa-gesa sekolah, tergesa-gesa pakai baju, makan, berangkat sekolah, beribadah, pergi les, mengerjakan tugas-tugas di rumah termasuk PR dan sejublek hal lainnya.

PENGASUHAN YANG BERGANTI-GANTI TANGAN

Umumnya juga tugas tugas pengasuhan, penyediaan kebutuhan, pendampingan dan bimbingan terhadap anak di "subkontrakkan" ketangan orang-orang lain, yang sudah tidak perlu dirinci siapa saja.

Mudah sekali pengasuhan anak berganti-ganti tangan dan berganti-ganti jiwa. Bisa dimaklumi bila anak tidak mendapatkan konsistensi dalam berbagai hal yang disebutkan diatas.
Dalam keadaan seperti ini, yang biasa terjadi adalah peran ayah dan ibu juga tidak tersepakati dengan baik. Orang tua mudah terjebak dalam pemahaman lama bahwa: Ayah mencari nafkah, Ibu mengasuh anak. Lupa bahwa ibunya juga tidak sempat dan mampu melakukannya. Ayah tak sengaja "habis" dengan ikhtiar mencari nafkah dan upaya memenuhi hajat hidup keluarga….
Apalagi kalau ayah dulunya juga memiliki model ayah yang juga pekerja keras, sehingga tidak sempat terlibat dan bicara dengan anaknya, dingin dan berjarak.. abis deh.

Jadilah anak-anak ini anak-anak yang : "berAyah dia ada, berAyah tiada" dan "berIbu dia ada, berIbu tiada"
Ayah terutama lupa, bahwa nanti di hari akhir, setelah masalah keimanan dan ibadahnya, beliau akan ditanya Allah tentang kepemimpinan dan tanggung jawabnya terhadap keluarganya khususnya istri dan anak-anaknya. Mau jawab apa kira-kira?

TUJUAN PENGASUHAN

Lanjutan dari keadaan ini adalah anak-anak yang dibesarkan tanpa Tujuan Pengasuhan yang jelas. Main sepak bola saja jelas ada gawangnya, kemana semua usaha di fokuskan untuk mencetak goal, masak mengasuh anak manusia tidak ada goalnya? Tak heranlah kalau pengasuhan tak punya prinsip, mudah hanyut dalam arus bagaimana orang banyak sekitar kita mengasuh anak mereka. Ber 'Hape' anak orang, ber 'Hape' anak kita, main games keren anak orang, main games pula anak kita… dstnya.

Komunikasi jadi se'ada'nya, 'sepenting'nya, 'sedapat'nya dan kadang-kadang menerapkan prinsip ekonomi : pendek, efektif , efisien dan cepat dapat hasil..

Ada dua hal penting yang hilang dari kebiasaan komunikasi dengan anak seperti ini :*

1. Orang tua tak sempat membaca bahasa tubuh anak yang mungkin sudah dikirimnya lebih banyak dari jumah pesan whatsapp yang diterima ayah dan ibu setiap hari. Dan karena itu, orang tua abai dan tak punya waktu untuk mendengarkan PERASAAN ANAK. Ini yang kita sering lupa bahwa perasaan itu untuk seseorang sangat penting. Bila perasaannya diterima dia merasa seluruh dirinya diterima. Kalau perasaannya ditolak, seseorang akan segera merasa seluruh dirinya ditolak. Jadi bayangkanlah kalau sudah pra remaja saja bagaimana jauhnya jarak terentang antar orang tua dengan anaknya yang rasanya sudah tak bisa diukur dengan kilometer.

2. Karena umunya tidak ada waktu untuk dialog, anak tak memiliki kemampuan untuk berfikir mengenai dirinya sendiri, apa yang benar dan salah, baik dan buruk, halal dan haram dll, sehingga tak memliki kemampuan Mempertimbangkan dalam Memecahkan Masalah apalagi Mengambil Keputusan. Ini yang di YKBH kami sebut kemampuan BMM = Berfikir, Memilih dan Mengambil Keputusan.

ANAK, AMANAH UTAMA ORANG TUA

Dalam pengasuhan dengan bentuk Tega nomor 1 ini, umumnya pendidikan agama juga "gak kepegang" oleh orang tuanya. Makanya orang tua bekerja keras untuk bisa membayar uang pangkal dan uang sekolah sehingga harapan bisa digantungkan sepenuhnya ke sekolah-sekolah yang "beragama". Kalau dirasa kurang, maka seperti mata pelajaran lainnya, panggillah guru les ke rumah dan kalau kurang juga, dari pada anak jadi mudah terpengaruh dengan lingkungan luar yang semakin "ganas", anak di masukkan ke sekolah boarding atau pesantren.

Tidak ada yang salah dengan pilihan itu, hanya saja pertanyaan yang mendasar adalah : Bukankah anak itu amanah dari Sang Maha Pencipta pada kedua orang tuanya? Jadi bagaimana pertanggung jawaban orang tua pada Pemberi Amanah kalau semuanya di sub kontrakkan? Bagaimana dan kapan mewujudkan tanggung jawabnya dan bagaimana pula menjawab pertanyaan sang Pemberi Amanah nantinya? Emang bisa terhindar dari situ? Dan bisakah yang memberikan jawaban adalah orang-orang yang pada siapa anak kita -- kita subkontrakkan?...

BAGAIMANA PERSIAPAN ANAK BALIGH

Bila agama saja tidak kepegang, apalagi persiapan anak memasuki usia baligh atau pubertasnya. Orang tua selalu punya alasan bahwa mereka pikir belum waktunya hal itu dibahas dengan anaknya. "Masih kecil!" Lupa bahwa hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun dan tahun berjalan cepat sekali. Secepat perubahan dan tantangan yang ayah dan ibu hadapi di pekerjaannya. Ayah beli baju dan sepatu yang cepat sekali sudah sempit tapi ayah dan ibu terlupa bahwa bertambahnya tinggi dan besarnya tubuh anak menunjukkan juga bahwa mereka akan jadi pribadi dewasa secara tiba-tiba. Dengan gizi yang baik dan rangsangan yang "dahsyat" disekitarnya, terutama di HP dalam genggamannya, rumah ber-wifi atau warnet dekat rumah, games tersedia, program TV yang luar biasa buruknya apalagi ketersediaan program tak layak bagi anak dari TV berlangganan, serta games yang disediakan orang tua, membuat anak baligh dalam usia yang lebih muda. Anak perempuan usia 9 tahun dan lelaki 10-11 tahun. Mereka? : SEXUALLY ACTIVE! Tanpa bekal sama sekali dengan semua kondisi di atas yang membuat jarak antara ayah ibu dan anak tak dapat diukur dengan kilometer.

Sudah pasti ayah dan ibu tak sempat memberikan penjelasan, bimbingan, pengarahan, pendampingan dan menyampaikan ketentuan agama dalam hal penggunaan gadget dan fasilitas lainnya yang disediakan atas dasar cinta dan kepedulian.… Anak dengan mudah mengakses dan tenggelam dalam kegiatannya di dunia maya. Tak sengaja terpapar dengan gambar-gambar dewasa tak layak/pornografi, malah mungkin sudah pada tahapan kecanduan, berbagai bentuk kekerasan, judi online dan berjuta hal buruk dari sosial media dan games-nya yang tak mungkin bisa terpantau lagi oleh ayah dan ibu.

Wajar kan? Kalau ayah dan ibu tiba-tiba shock, speechless dan sudah tidak tahu harus berbuat apa bila anaknya tiba-tiba diketahui atau ditemukan melakukan hal-hal yang tidak masuk akal? Bahkan mengerikan?.. Bisakan mereka menjadi pelaku dan sangat bisa jadi korban? Naudhubillah..

Ayah ibu lupa kalau mereka mengasuh anak di Era Digital. Sama sekali berbeda ketika mereka dibesarkan dahulu oleh kedua orang tuanya!
"Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian apa gunanya?", kata pepatah lama yang sudah jarang sekali dipakai dewasa ini. "Ambil abu!" kata pepatah lain pula.
Semua karena TEGA dan ternyata ayah ibu : Se TEGA-TEGAnya…!

KELOMPOK TEGA KEDUA

Kelompok Tega yang kedua berdasarkan pengamatan dan kajian kami di YKBH banyak sekali berkaitan dengan masa lalu kedua orang tuanya, dan juga karena kekurangan ilmu dan kebijaksanaan.
Kami sering menyebut kelompok ini dengan istilah sebagai kelompok ortu yang memiliki : "DENDAM POSITIF"

Dulu hidup susah atau "keras" benar, Getir! Beli buku saja susah, seragam cuma dua : cuci satu pakai satu. Buku tulis saja pakai bekas orang kalau ada halaman yang belum terisi. Ganti sepatu harus berjuang untuk kerja dulu. Apalagi uang jajan dan beli atau punya mesin tik dan sepeda motor!

DASAR KEBERHASILAN, DARI KESUSAHAN

Orang tua seperti inilah yang jadi gak bisa dan mampu TEGA sama anaknya. Apalagi kalau melihat sepupu atau teman anaknya sudah punya sesuatu yang anaknya belum punya.

"Suami saya sih Bu, yang selalu belikan hape baru dan games yang paling mutakhir untuk anak kami", keluh seorang ibu yang sadar benar apa yg dilakukan suaminya keliru.

"Hmm.. Sejauh apa ibu sudah memperingatkan beliau?" Tanya saya dengan nada datar.

"Heeeuh .. sudah capek, Bu. Malah suami saya bilang sama saya : Biarin saja sih mah, sudahlah dulu aku susah banget hidupnya, sekarang aku bekerja keras terutama agar anak-anak kita tidak mengalami apa yang aku rasakan dulu. Bagian mananya sih yang mama nggak ngerti, kenapa jadi menentang terus sih?".

Ayah dan ibu yang gak tegaan ini lupa bahwa, dari ketiadaan dan kekerasan hidupnya di masa lalu itulah banyak sekali dasar-dasar keberhasilan dan kesuksesan yang sekarang diraihnya itu, mereka peroleh dari kesulitan dan perjuangan hidup yang dulu mereka hadapi dan jalani.

Kalau sekarang mereka memenuhi _'Dendam Positifnya'_ terhadap anaknya, apa yang mereka dapatkan? Mereka menghadapi anak yang bermasalah dan karenanya perlu membawa anaknya ke psikolog!
Wajarlah anak menjadi kurang sensitif, maunya banyak dan harus dapat, "demanding!" suka menuntut!, tak perduli keadaan orang tuanya sedang 'ada' atau 'tiada', keras kepala, susah diajak ngomong apalagi berunding, dan umumnya berkaitan dengan dampak buruk teknologi yang sudah tak bisa dikendalikan dari adiksi gadget sampai adiksi masturbasi dan hal buruk lain yang tak pantas ditulis disini.

Selain orang tua lupa bahwa dia berhasil sekarang karena dia struggle dulu, mereka juga lupa bahwa seseorang tidak akan menghargai keberhasilan kalau tak pernah merasa gagal, tak menikmati kesenangan kalau tak pernah susah, tak menghargai sehat kalau tak pernah merasakan gak enaknya sakit, dsbnya..

HIDUP BERPUTAR

Hal lain yang orang tua suka gak kepikiran adalah bahwa hidup ini tidak seperti yang dia harapkan atau bayangkan terus.
Kita mengasuh anak kita kan untuk dia mampu hidup terpisah, mandiri dan sukses tanpa kita? Dan mungkin mereka akan menuntut ilmu bukan dikota bahkan di negeri yang kita tinggal? Ada kemungkinan besar bukan? Anak kita akan keluar negeri, apakah itu dengan dana orang tua ataupun meraih bea siswa? Apakah semua fasilitas itu akan kita adakan juga disana?

Selain itu emangnya kita sebagai orang tua hidup terus? Kaya terus?
Bukankah Allah telah memperingatkan kita berkali-kali , a.l : _Wa tilkal ayyamuuna nuda wiluha bainan Nas? "Dan akan aku gilir-gilirkan hari itu diantara kamu"_. Iya kalau lagi diatas, bagaimana kalau kita lagi digilir Allah untuk berada dibawah? Dan itu bisa sangat tiba-tiba? Bagaimana dengan anak kita?
Huh.. banyak sekali saya menghadapi kasus-kasus seperti ini, yang tidak di sangka-sangka dan tidak di antisipasi oleh orang tua akan terjadi perubahan mendadak. Akibatnya? Naudhubillah berdampak sampai ke cucu-cucunya!

Jadi teman teman, kalaulah saya lihat kebelakang sepanjang 38 th hidup saya membesarkan anak-anak kami baik didalam dan diluar negeri, kami bersiteguh untuk sering kali TEGA, bahkan kadang-kadang SE-TEGA-TEGANYA pada anak-anak kami. Semua tentunya didasarkan pada ketakutan pada Allah meninggalkan dibelakang kami anak-anak yang lemah dan tidak sejahtera. Walaupun sesaat setelah melakukannya terutama saya, sering sekali menangis ditikar sembahyang saya atau di pinggir tempat tidur kami.. Berdoa….

KISAH KELUARGA RISMAN

Saya tidak pernah lupa, pertama sekali saya melihat pak Risman menangis setelah 10 menit meninggalkan sulung kami di asrama yang jaraknya hanya 30 menit dr rumah yang kami tinggali di Tallahassee, Florida. Keputusan sudah dibuat bersama, persiapan mental spiritual disiapkan berminggu-minggu sebelumnya, positif negative sudah dibahas untuk sulung kami mengikuti sebuah program yang mengharuskannya tinggal di asrama bersama anak-anak Amerika semuanya, di mana dia satu-satunya orang asing. Program ini harus diikuti sebagai satu-satunya alternatif yang bisa menambah kredit yang dibutuhkan anak kami untuk lulus lebih cepat dari teman sekelasnya, karena kami mau pulang ke Indonesia. Ketakutan pada Allah akan sesuatu terjadi pada anak kami yg remaja itu dengan bebasnya anak remaja di sana bergaul, itulah yang membuat ayahnya menangis.

Apa yang ingin saya sampaikan adalah, *kita selain berusaha sekuat mungkin memenuhi kebutuhan fisik jiwa dan spiritual anak-anak kita, kita juga harus berani TEGA, karena Allah*. Kitalah yang diberi bibit yang kemudian tumbuh menjadi anak, maka kitalah babysitternya Allah.

Bukankah Rasul kita Muhammad saw telah mencontohkan bagaimana ketika beliau sedang sujud dalam salah satu sholatnya beliau membiarkan cucunya bermain dipundaknya sampai puas? Sehingga sahabat-sahabat beliau mengira ada Jibril datang membawa wahyu, saking lamanya?

Apa yang bisa kita petik dari tauladan kita tersebut? Didalam sholatnya saja ketika beliau menyembah Allahnya, Rasul kita berusaha memenuhi kebutuhan cucu beliau, pada saat mereka butuhkan dalam jumlah yang cukup! Bagaimana dengan kita.
Sudahkah kita penuhi kebutuhan kebutuhan dasar jiwa dan spiritual anak kita, bukan hal yang bersifat fisik dan kemanjaan saja, pada saat yang tepat dan jumlah yang cukup?.
Kita tidak tahu bagaimana hidup kedepan, apalagi dengan persaingan yang sangat keras seperti sekarang ini dan dahsyatnya dampak negative dari teknologi. Kalau tak berani membiarkan atau Tega pada anak, memberikan mereka kesempatan "deal" dengan masalah, memecahkan dan mengambil keputusan untuk dan atas nama mereka sendiri dengan cara yang benar dan diridhai Allah, bagaimana mereka akan mampu menghadapi dan menjalani hidup mereka dimasa depan? Mana modalnya?!

Saya teringat benar, bagaimana kami belajar tega membiarkan anak anak travel sendiri mula-mula antar kota sebelum antar negeri. Itupun dimulai dari kereta api biasa dan bis antar kota. Naik ke kelas: pake travel atau kereta bisnis. Lalu kalau sudah berhasil dan tidak mengeluh baru naik kereta kelas argo. Terakhir baru naik pesawat!. Dan gak turun lagi kekelas kereta yang bareng ayam dan kecoa…
Kalaulah kami dulu tidak berusaha memenuhi kebutuhan anak-anak kami sebaik yang kami bisa dan tidak berani tega pada mereka dalam banyak hal, bagaimanalah kini mereka menjalani kehidupan berkeluarga? Satu di KL, adiknya berjarak 3 jam tempuh untuk bersua dengan kami, yang bungsu menjadi penduduk Madinah?
Tinggallah saya dan suami, berbuka puasa dan sholat Idul Adha berdua saja. Dihari tua ini kami yakin, dan merasa aman, Insha Allah mereka mampu menjalani hidup mereka apa adanya, karena sudah mereka ngalamin hidup yang bersusah susah…

BELAJAR DARI NABI IBRAHIM

Dalam rangka Idul Adha ini, marilah kita belajar dari Nabi Ibrahim. Karena Allah, beliau tega meninggalkan istri dan anak beliau di sahara, jangankan ada pohon, rumput saja tak tumbuh dan air setetes tiada. Sesekali beliau tengok, dan tinggal bersama. Ketika anaknya remaja, Nabi Ibrahim diperintah Allah untuk menyembelih pula anaknya. Ke Tegaan pada tingkat yang tak ada kata-kata bisa melukiskannya.
Bukankah ketaqwaan kepada Allah dan keridhaan menjalani hidup yang sulit yang antara lain menghantar Ismail menjadi Nabi?

Selamat berjuang teman-teman, selamat meraih kemenangan dan kebahagiaan di hari tua..
Yakinlah kita bisa, kalau kita mau berubah dan berusaha!
Insha Allah!

Salam hangat,
Elly Risman

#EllyRismanParentingInstitute
#ParentingEradigital


Ditulis Pada: 31 August 2017, Pukul: 09:56:34

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sarra Risman | Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi ‘anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa’, seperti doa-doa umum yang seri

Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi 'anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa', seperti doa-doa umum yang sering kita katakan ketika mendengar berita kelahiran seorang bayi. Dari saya kecil, ibu saya tampaknya sudah mengikuti 'developmental milestone' yang menjelaskan bahwa anak usia segini, seharusnya sudah bisa begini. Kami dapat tugas khusus masing-masing, seperti kakak jadi tukang cuci baju, saya ahli cuci kamar mandi, dan adik sapu dan pel. Tugas tersebut berotasi sesuai usia, kebutuhan, dan (karena kami hidup nomaden) tempat tinggal. Tentunya rumah di Amerika, yang tertutup karpet dari ujung ke ujung, tidak membutuhkan sapu dan pel. Tugas juga di bagi sesuai dengan kebutuhan, jadi ketika ramadhan tiba, dan pembantu pulang, kakak bertugas menyiapkan sahur, saya dan adik merapihkan setelah sahur. Siangan dikit kakak memasak, adik mencuci, saya tukang setrika. Sampai kesepakatan rotasi berikut...

Silmy Risman | #SilmyShares:

#SilmyShares: Bersyukur itu seperti cinta. Tidak banyak makna jika cuma berbentuk kata-kata. Ia lebih nyata jika ditunjukkan lewat perilaku dan sikap kita. Saya beri contoh ya. Kalau ada pasangan A, yang suaminya bilang "I love you deh Say.." setiap hari tapi sikapnya kasar atau bahasa tubuhnya tidak hangat dan sering nyindir atau marah.. Dan pasangan B yang suaminya jarang memberikan kata-kata cinta tapi sering senyum, suka memuji dan ringan dalam membantu urusan anak atau pekerjaan di rumah.. Dalam jangka panjang, pilih mana? Nah sama dengan bersyukur. Kalau cuma menyatakan diri sebagai hamba tuhan yang bersyukur tapi setiap hari mengeluh, iri, dan ngomongin orang... Mana syukurnya? Nggak dihitung dan pastinya (apalagi bagi orang-orang sekitar) tidak terasa. Syukur itu harus sempat. Jangan hanya dalam doa setelah shalat (yang kadang itupun masih suka telat hehehe). Mulai bersyukur dari hal-hal kecil; masih punya tempat tinggal, bisa garuk kalau gatal (bayangin kalo nggak ...

Wina Risman | Memasukkan anak sekolah:

Memasukkan anak sekolah: Untuk anak atau ibu? Iya, saya paham. 10 menit keheningan terkadang sangat diperlukan seorang ibu,untuk tetap waras. Apalagi mereka yang mempunyai dua balita dibawah satu atap. Rangkaian pekerjaan yang sudah tersusun rapi di otak, detik ketika kita bangun pagi, seakan sudah menjadi otomatis tersedia. Satu menyambung dengan yang lainnya, hingga tak terasa, sudah waktunya mentari tenggelam lagi. Bahkan, setelah malampun tiba, masih ada sederet dua benda tersisa yang mesti diselesaikan, sebelum akhirnya tubuh mendapatkan haknya untuk baring dan kaki untuk selonjoran. Iya saya paham. Hanya saja, berangkat dari kepenatan harian yang sudah menahun, membuat seorang ibu seakan-akan merasa punya alasan, kenapa buah hatinya mesti segera disekolahkan. Sudah bosan di rumah Biar belajar bergaul Menstimulus berbicara Belajar sharing dan bermain bersama Anaknya sudah minta dll, dll... Sebetulnya, jika ditanya, terutama pada ibu yang menyekolahkan anaknya diusia 3th atau sebe...