Langsung ke konten utama

#3 MENGASUH ADALAH...

#3 MENGASUH ADALAH...

.
Dari pembahasan sebelumnya, kita sudah memahami bahwa anak adalah amanah Allah.

Ia bukanlah milik kita. Bukan semata-mata hadiah yang dapat diperlakukan sesuka kita. Bukan. Kita sebagai pihak yang dititipi akan diminta pertanggungjawaban atas titipan tersebut.

Dengan cara apa? Apakah cukup dengan menjamin kebutuhan materinya, makanannya, dan menyekolahkannya dan mefasilitasinya dengan les tambahan?

Banyaknya kasus kenakalan dan kejahatan yang dilakukan anak dan remaja, seakan menceritakan kenyataan bahwa anak dan remaja kita sehat badannya, cerdas otaknya, namun hampa jiwanya. Adriano Rusfi, seorang praktisi pendidikan, menyebut mereka dengan sebutan "Aqilnya tidak berbarengan (lebih lambat) dengan Balighnya".

Yang kita inginkan adalah saat kita harus mempertanggungjawabkan anak kita kepada Pemiliknya, hati kita bangga dan tenang karena anak kita kembali dalam keadaan yang terbaik (BEST). Baik iman, budi, dan perilakunya (BEHAVE), baik hati dan kata-katanya (EMPHATIC), baik otaknya (SMART), serta baik fisik, mental, dan jiwanya (TOUGH).

Yaitu anak yang kokoh keimanannya, baik ibadahnya, dan mulia akhlaknya. Anak yang merasa dirinya berharga dan percaya diri. Anak yang cerdas : berfikir kritis dan solutif.

Anak yang mampu berkomunikasi dengan baik dan tutur katanya menghargai orang lain, mandiri, bertanggung jawab pada Allah, diri sendiri, keluarga dan masyarakat, serta bijak berteknologi.

Jadi, dengan cara apa kita melaksanakan tanggungjawab sebagai orangtua?

Pertama, yang perlu kita sadari bahwa mengasuh adalah aktifitas menunaikan amanah sang Pencipta yang dilakukan orangtua dalam rangka mempersiapkan anaknya menjadi dewasa, yaitu mampu berpikir, memilih, dan mengambil keputusan dengan dilandasi ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan akhlak yang baik sebelum anak kita baligh (bagi anak laki-laki) dan hingga menikah (bagi anak perempuan).

Kesadaran kedua adalah bahwa anak kita membawa takdirnya sendiri. Kita hanyalah babysitter terpilih yang ditugasi memenuhi kebutuhannya. Peran kita sebatas FASILITATOR yang membantu anak kita menemukan jalan hidup yang Allah takdirkan kepadanya. Tak lebih dari itu.

Kita sama sekali tidak punya mandat memilihkan jalan hidup bagi anak kita. Sekali lagi, kita sama sekali tidak diberi mandat menentukan jalan hidup anak kita oleh Penciptanya.

Tidak dibenarkan jika kita menitipkan mimpi-mimpi kita yang tak tercapai kepada hidup anak kita. Masa depan laksana dinding putih yang anak itu sendiri yang mewarnainya.

Oleh karena itu, kenali anak kita. Bagaimana mungkin kita bisa mendampinginya jika kita tidak mengenali anak kita sendiri.

Kita juga perlu terus mengenali diri sendiri dan jalan hidup yang digariskan Allah pada kita, agar kita bisa menjadi fasilitator terbaik yang siap mengawal anak kita sepanjang ia berproses menemukan jalan hidupnya sendiri.

Akhirnya, kita menyadari tugas mengasuh adalah tanggungjawab yang sangat serius. Olehkarena itu, rasanya kita tidak lagi bisa menggunakan gaya populer : mempercayakan sepenuhnya pengasuhan anak kita ke tangan orang lain.

Jika oleh karena satu dan lain hal kita menitipkan anak kita pada pengasuh (babysitter, kakek nenek, Asisten Rumah Tangga), sebelum meninggalkannya di pagi hari, pastikan anak tercukupi kebutuhan jiwanya hingga orangtuanya kembali ke rumah.

Pastikan kita tetap menjadi guru pertama dan penjaga utama dari makhluk mungil yang kita bangga-banggakan itu.

Pastikan kita tidak kehilangan momen-momen berharga anak kita. Jika direnungkan kembali, sesungguhnya kita-lah yang merugi jika momen-momen berharga anak kita terlewat sedangkan ia terus tumbuh hari demi hari.

...they won't be kids forever, which makes today that much more important.

Menjadilah orangtua yang ada, ibu yang ada, ayah yang ada. Yang siap memberikan kebutuhan pada saat yang diperlukan, dalam jumlah yang cukup.

***
Di artikel selanjutnya, kita akan membahas tentang bagaimana cara menunaikan amanah dari Allah ini.

Mulai 14/06/16, kami akan memposting serial artikel parenting setiap hari Selasa dalam folder foto "SERIAL PARENTING with Kakatu dan SEMAI2045".

Silakan dibagikan kepada saudara, sahabat, dan orangtua dari teman anak-anak kita jika mendapat manfaat dari artikel kami. Because sharing is caring.


Ditulis Pada: 28 June 2016, Pukul: 07:12:02

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sarra Risman | Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi ‘anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa’, seperti doa-doa umum yang seri

Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi 'anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa', seperti doa-doa umum yang sering kita katakan ketika mendengar berita kelahiran seorang bayi. Dari saya kecil, ibu saya tampaknya sudah mengikuti 'developmental milestone' yang menjelaskan bahwa anak usia segini, seharusnya sudah bisa begini. Kami dapat tugas khusus masing-masing, seperti kakak jadi tukang cuci baju, saya ahli cuci kamar mandi, dan adik sapu dan pel. Tugas tersebut berotasi sesuai usia, kebutuhan, dan (karena kami hidup nomaden) tempat tinggal. Tentunya rumah di Amerika, yang tertutup karpet dari ujung ke ujung, tidak membutuhkan sapu dan pel. Tugas juga di bagi sesuai dengan kebutuhan, jadi ketika ramadhan tiba, dan pembantu pulang, kakak bertugas menyiapkan sahur, saya dan adik merapihkan setelah sahur. Siangan dikit kakak memasak, adik mencuci, saya tukang setrika. Sampai kesepakatan rotasi berikut...

Silmy Risman | #SilmyShares:

#SilmyShares: Bersyukur itu seperti cinta. Tidak banyak makna jika cuma berbentuk kata-kata. Ia lebih nyata jika ditunjukkan lewat perilaku dan sikap kita. Saya beri contoh ya. Kalau ada pasangan A, yang suaminya bilang "I love you deh Say.." setiap hari tapi sikapnya kasar atau bahasa tubuhnya tidak hangat dan sering nyindir atau marah.. Dan pasangan B yang suaminya jarang memberikan kata-kata cinta tapi sering senyum, suka memuji dan ringan dalam membantu urusan anak atau pekerjaan di rumah.. Dalam jangka panjang, pilih mana? Nah sama dengan bersyukur. Kalau cuma menyatakan diri sebagai hamba tuhan yang bersyukur tapi setiap hari mengeluh, iri, dan ngomongin orang... Mana syukurnya? Nggak dihitung dan pastinya (apalagi bagi orang-orang sekitar) tidak terasa. Syukur itu harus sempat. Jangan hanya dalam doa setelah shalat (yang kadang itupun masih suka telat hehehe). Mulai bersyukur dari hal-hal kecil; masih punya tempat tinggal, bisa garuk kalau gatal (bayangin kalo nggak ...

Wina Risman | Memasukkan anak sekolah:

Memasukkan anak sekolah: Untuk anak atau ibu? Iya, saya paham. 10 menit keheningan terkadang sangat diperlukan seorang ibu,untuk tetap waras. Apalagi mereka yang mempunyai dua balita dibawah satu atap. Rangkaian pekerjaan yang sudah tersusun rapi di otak, detik ketika kita bangun pagi, seakan sudah menjadi otomatis tersedia. Satu menyambung dengan yang lainnya, hingga tak terasa, sudah waktunya mentari tenggelam lagi. Bahkan, setelah malampun tiba, masih ada sederet dua benda tersisa yang mesti diselesaikan, sebelum akhirnya tubuh mendapatkan haknya untuk baring dan kaki untuk selonjoran. Iya saya paham. Hanya saja, berangkat dari kepenatan harian yang sudah menahun, membuat seorang ibu seakan-akan merasa punya alasan, kenapa buah hatinya mesti segera disekolahkan. Sudah bosan di rumah Biar belajar bergaul Menstimulus berbicara Belajar sharing dan bermain bersama Anaknya sudah minta dll, dll... Sebetulnya, jika ditanya, terutama pada ibu yang menyekolahkan anaknya diusia 3th atau sebe...