Langsung ke konten utama

#2 SIAPA ANAK KITA?

#2 SIAPA ANAK KITA?

Sepasang pengantin baru mendapat kado luar biasa dari Allah swt. Setelah 6 bulan menikah, sang istri positif hamil. Mereka berdua sangat bahagia. Begitu pula ayah ibu mereka, sahabat-sahabat mereka, maupun kerabat mereka.

40 minggu kemudian, bayi mereka lahir. Wajahnya sangat lucu dan tampan. Bayi laki-laki tersebut benar-benar penyejuk mata yang memandangnya. Lengkap sudah kebahagiaan keluarga baru tersebut.

2,5 tahun berlalu. Bayi laki-laki tersebut menjadi balita yang sangat aktif. Sang Ibu seringkali kehabisan akal dan energi menghadapi bocah kecil ini.

Ketika tubuhnya sangat lelah dan sang ayah yang sama kelelahannya juga dirasa kurang supportif, kejadian berikut mungkin terjadi tanpa disadari :
"Mamamaaaa, mau susu", ucap bibir kecilnya sambil merengek
"Tadi kan udah 1 gelas",
"Mau susuuuuuuu",
"Udah, nanti adek muntah",
"Mau susuuuuuuu!!"
"Udah mama bilang. Nanti kamu muntah!"

Tiba-tiba ia tersadar baru saja membentak sang putra tanpa disengaja. Hatinya dipenuhi perasaan bersalah dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.

Segera ia memeluknya, "Maafin Mama ya Nak. Mama lagi capek. Adek ngantuk ya? Adek boleh minum air putih dulu ya. Setelah tidur, Mama buatin susu buat adek"

Rasa bersalah itu fitrah, perasaan itu rambu-rambu dari Allah swt agar kita senantiasa sadar apakah kita masih berperilaku baik kepada anak kita atau justru sudah di luar kendali.

Hal ini terjadi karena sesungguhnya Allah swt sudah menginstall dalam diri kita suatu nilai yang menyatakan bahwa anak kita adalah amanah Sang Pencipta yang sangat berharga.

Seandainya kita dititipi benda berharga yang sangat mahal oleh ratu Inggris, apa yang akan kita lakukan? Tentu kita akan menjaga dan merawatnya dengan sangat baik, bahkan tak boleh ada satu gores pun bekas debu yang tampak ketika kita mengembalikannya.

Bagaimana dengan anak kita?

Anak kita adalah titipan Maharaja yang lebih berharga dari apapun yang ada di dunia ini. Tentu kita ekstra keras menjaganya agar saat dikembalikan, ia dalam keadaan terbaik (BEST) sebaik saat dititipkan.

Baik apanya?

Baik iman, budi, dan perilakunya (BEHAVE), baik hatinya (EMPHATIC), baik otaknya (SMART), serta baik fisik, mental, dan jiwanya (TOUGH).

Yaitu anak yang kokoh keimanannya, baik ibadahnya, dan mulia akhlaknya. Anak yang merasa dirinya berharga dan percaya diri. Anak yang cerdas : berfikir kritis dan solutif.

Anak yang mampu berkomunikasi dengan baik dan tutur katanya menghargai orang lain, mandiri, bertanggung jawab pada Allah, diri sendiri, keluarga dan masyarakat, serta bijak berteknologi.

Allah tidak pernah memindahkan amanah itu pada orang lain. Maka pada saatnya nanti, Allah akan tetap menanyai pertanggungjawaban kita mengenai amanah yang diserahkanNya itu. Siapkah kita?

***
Di artikel selanjutnya, kita akan membahas tentang apa peran kita dalam menunaikan amanah dari Allah.

Mulai 14/06/16, kami akan memposting serial artikel parenting setiap hari Selasa dalam folder foto "SERIAL PARENTING with Kakatu dan SEMAI2045".

Silakan dibagikan kepada saudara, sahabat, dan orangtua dari teman anak-anak kita jika mendapat manfaat dari artikel kami. Because sharing is caring.


Ditulis Pada: 21 June 2016, Pukul: 03:12:40

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sarra Risman | Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi ‘anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa’, seperti doa-doa umum yang seri

Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi 'anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa', seperti doa-doa umum yang sering kita katakan ketika mendengar berita kelahiran seorang bayi. Dari saya kecil, ibu saya tampaknya sudah mengikuti 'developmental milestone' yang menjelaskan bahwa anak usia segini, seharusnya sudah bisa begini. Kami dapat tugas khusus masing-masing, seperti kakak jadi tukang cuci baju, saya ahli cuci kamar mandi, dan adik sapu dan pel. Tugas tersebut berotasi sesuai usia, kebutuhan, dan (karena kami hidup nomaden) tempat tinggal. Tentunya rumah di Amerika, yang tertutup karpet dari ujung ke ujung, tidak membutuhkan sapu dan pel. Tugas juga di bagi sesuai dengan kebutuhan, jadi ketika ramadhan tiba, dan pembantu pulang, kakak bertugas menyiapkan sahur, saya dan adik merapihkan setelah sahur. Siangan dikit kakak memasak, adik mencuci, saya tukang setrika. Sampai kesepakatan rotasi berikut...

Silmy Risman | #SilmyShares:

#SilmyShares: Bersyukur itu seperti cinta. Tidak banyak makna jika cuma berbentuk kata-kata. Ia lebih nyata jika ditunjukkan lewat perilaku dan sikap kita. Saya beri contoh ya. Kalau ada pasangan A, yang suaminya bilang "I love you deh Say.." setiap hari tapi sikapnya kasar atau bahasa tubuhnya tidak hangat dan sering nyindir atau marah.. Dan pasangan B yang suaminya jarang memberikan kata-kata cinta tapi sering senyum, suka memuji dan ringan dalam membantu urusan anak atau pekerjaan di rumah.. Dalam jangka panjang, pilih mana? Nah sama dengan bersyukur. Kalau cuma menyatakan diri sebagai hamba tuhan yang bersyukur tapi setiap hari mengeluh, iri, dan ngomongin orang... Mana syukurnya? Nggak dihitung dan pastinya (apalagi bagi orang-orang sekitar) tidak terasa. Syukur itu harus sempat. Jangan hanya dalam doa setelah shalat (yang kadang itupun masih suka telat hehehe). Mulai bersyukur dari hal-hal kecil; masih punya tempat tinggal, bisa garuk kalau gatal (bayangin kalo nggak ...

Wina Risman | Memasukkan anak sekolah:

Memasukkan anak sekolah: Untuk anak atau ibu? Iya, saya paham. 10 menit keheningan terkadang sangat diperlukan seorang ibu,untuk tetap waras. Apalagi mereka yang mempunyai dua balita dibawah satu atap. Rangkaian pekerjaan yang sudah tersusun rapi di otak, detik ketika kita bangun pagi, seakan sudah menjadi otomatis tersedia. Satu menyambung dengan yang lainnya, hingga tak terasa, sudah waktunya mentari tenggelam lagi. Bahkan, setelah malampun tiba, masih ada sederet dua benda tersisa yang mesti diselesaikan, sebelum akhirnya tubuh mendapatkan haknya untuk baring dan kaki untuk selonjoran. Iya saya paham. Hanya saja, berangkat dari kepenatan harian yang sudah menahun, membuat seorang ibu seakan-akan merasa punya alasan, kenapa buah hatinya mesti segera disekolahkan. Sudah bosan di rumah Biar belajar bergaul Menstimulus berbicara Belajar sharing dan bermain bersama Anaknya sudah minta dll, dll... Sebetulnya, jika ditanya, terutama pada ibu yang menyekolahkan anaknya diusia 3th atau sebe...