Langsung ke konten utama

#19 Tujuan Pengasuhan – Blueprint 3 : Menjadi Ayah yang Baik (Blueprint 3 part2)

#19 Tujuan Pengasuhan – Blueprint 3 : Menjadi Ayah yang Baik (Blueprint 3 part2)
Pernahkah Ayah Bunda memiliki teman yang ayahnya keras mendidik?
.
Kata ayahnya A, harus nurut. Pilih sekolah, pilih kampus, pilih karir, sampai urusan pilih jodoh! Jika tak mengikuti kata-kata ayah, di-cap anak pembangkang. Masih terasa ada nada sedih tak berdaya meski dikuat-kuatkan dari bibirnya jika ia mengenang memori tentang sang ayah.
.
Pernah juga kah Ayah Bunda memiliki teman yang sangat dekat dengan ayahnya?
.
Ketika menceritakan masa kecilnya yang dipenuhi kenangan menyenangkan beribadah dipimpin ayahnya, bermain dengan ayahnya, mencuci mobil dengan ayahnya, jalan-jalan sore dengan ayahnya, momen pertama ke sekolah diantar ayahnya, mata teman kita itu begitu berbinar-binar bahkan sesekali menyeka air mata rindu. Tak heran jika kemudian teman kita itu menjadikan ayahnya sebagai ukuran dalam menentukan pasangan hidup.
.
Dari dua gambaran di atas, tentu kita menginginkan anak kita menjadi ayah yang dikenang baik oleh cucu kita kelak.
.
Mendidik anak kita menjadi ayah yang baik bukan tentang bukti keberhasilan kita sebagai orangtua, namun sebagai bukti kasih sayang kita padanya. Bukankah jika kita mendidiknya menjadi ayah yang baik, ia memiliki kesempatan lebih besar untuk memiliki keluarga yang bahagia dan mendapat pahala dari cucu kita?
.
Agar menjadi ayah yang baik, selain mengandalkan instingnya sendiri, anak kita perlu dipersiapkan kemampuannya sedikit demi sedikit sejak kecil.
.
Dalam keluarga, ayah adalah penentu GBHK (Garis Besar Haluan Keluarga). Ia bertanggungjawab dalam bertanggungjawab menentukan visi misi keluarga, menyediakan keuangan, menyediakan makanan dan pakaian, menyediakan rumah dan isinya, membimbing anak, membuat kebijakan dan peraturan, menentukan standar keberhasilan, menyediakan training dan pemantauan, menyediakan perawatan dari harta dan benda, melakukan pengontrolan, serta mendelegasikan tanggung jawab dan otoritas.
.
Garis besarnya adalah ayah merupakan pemimpin, penentu arah kebijakan keluarga, dan pemberi perlindungan lahir dan batin. Maka, kita perlu mempersiapkan ia memiliki kemampuan kepemimpinan sekaligus pelayanan yang mumpuni. Ada ayah yang pandai memimpin namun tak pandai melayani, ada juga ayah yang cakap melayani namun kurang cakap memimpin.
.
Mendidik anak menjadi pemimpin yang melayani berakar dari kualitas komunikasi dalam keluarga. Komunikasi yang seperti apa? Komunikasi yang Benar (sesuai petunjuk Al Quran), Baik (sesuai cara otak bekerja), dan Menyenangkan (menumbuhkan jiwa).
.
Komunikasi yang sesuai petunjuk Al Quran ada beberapa jenis, yaitu :
1. qaulan balighan (perkataan yang merasuk dan membekas dalam jiwa),
2. qaulan kariman (perkataan yang bermanfaat dan menjadikan pihak lain tetap dalam kemuliaan),
3. qaulan maisura (perkataan yang baik, lembut, dan melegakan),
4. qaulan ma'rufan (perkataan yang baik dan tidak menyakitkan)
5. qaulan layyinan (perkataan yang lembut, meyakinkan, dan rasional)
6. qaulan sadiidan (perkataan yang benar, jujur dan tepat sasaran)
Anak akan belajar dari keteladanan. Maka, untuk menjadi pemimpin anak perlu keteladanan komunikasi yang baligh, yang karim, semuanya. Kehidupan keluarga tak lepas dari nasehat menasehati dalam kebaikan dan kesabaran, terutama dari ayah.
.
Selain komunikasi, perlu juga pembiasaan agar anak kita memiliki kemampuan berpikir, memilih, dan mengambil keputusan (BMM), kemampuan hidup mandiri dan keterampilan mencari nafkah, kemampuan menunjukkan kasih sayang, kemampuan bekerjasama dan membangun kekompakan keluarga, serta kemampuan mendidik.
.
Kita akan membahasnya satu persatu di artikel selanjutnya. Simak terus ya 
~~~~~
Mulai hari ini (14/06/16), kami akan memposting serial artikel setiap hari Selasa. Silakan dibagikan kepada saudara, sahabat, dan orangtua dari teman anak-anak kita. Because sharing is caring.

Ditulis Pada: 04 April 2017, Pukul: 09:29:53

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sarra Risman | Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi ‘anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa’, seperti doa-doa umum yang seri

Saya dibesarkan dengan tujuan. Ada target, ada finish line, ada goal. Tidak sekedar menjadi 'anak shalihah yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa', seperti doa-doa umum yang sering kita katakan ketika mendengar berita kelahiran seorang bayi. Dari saya kecil, ibu saya tampaknya sudah mengikuti 'developmental milestone' yang menjelaskan bahwa anak usia segini, seharusnya sudah bisa begini. Kami dapat tugas khusus masing-masing, seperti kakak jadi tukang cuci baju, saya ahli cuci kamar mandi, dan adik sapu dan pel. Tugas tersebut berotasi sesuai usia, kebutuhan, dan (karena kami hidup nomaden) tempat tinggal. Tentunya rumah di Amerika, yang tertutup karpet dari ujung ke ujung, tidak membutuhkan sapu dan pel. Tugas juga di bagi sesuai dengan kebutuhan, jadi ketika ramadhan tiba, dan pembantu pulang, kakak bertugas menyiapkan sahur, saya dan adik merapihkan setelah sahur. Siangan dikit kakak memasak, adik mencuci, saya tukang setrika. Sampai kesepakatan rotasi berikut...

Silmy Risman | #SilmyShares:

#SilmyShares: Bersyukur itu seperti cinta. Tidak banyak makna jika cuma berbentuk kata-kata. Ia lebih nyata jika ditunjukkan lewat perilaku dan sikap kita. Saya beri contoh ya. Kalau ada pasangan A, yang suaminya bilang "I love you deh Say.." setiap hari tapi sikapnya kasar atau bahasa tubuhnya tidak hangat dan sering nyindir atau marah.. Dan pasangan B yang suaminya jarang memberikan kata-kata cinta tapi sering senyum, suka memuji dan ringan dalam membantu urusan anak atau pekerjaan di rumah.. Dalam jangka panjang, pilih mana? Nah sama dengan bersyukur. Kalau cuma menyatakan diri sebagai hamba tuhan yang bersyukur tapi setiap hari mengeluh, iri, dan ngomongin orang... Mana syukurnya? Nggak dihitung dan pastinya (apalagi bagi orang-orang sekitar) tidak terasa. Syukur itu harus sempat. Jangan hanya dalam doa setelah shalat (yang kadang itupun masih suka telat hehehe). Mulai bersyukur dari hal-hal kecil; masih punya tempat tinggal, bisa garuk kalau gatal (bayangin kalo nggak ...

Wina Risman | Memasukkan anak sekolah:

Memasukkan anak sekolah: Untuk anak atau ibu? Iya, saya paham. 10 menit keheningan terkadang sangat diperlukan seorang ibu,untuk tetap waras. Apalagi mereka yang mempunyai dua balita dibawah satu atap. Rangkaian pekerjaan yang sudah tersusun rapi di otak, detik ketika kita bangun pagi, seakan sudah menjadi otomatis tersedia. Satu menyambung dengan yang lainnya, hingga tak terasa, sudah waktunya mentari tenggelam lagi. Bahkan, setelah malampun tiba, masih ada sederet dua benda tersisa yang mesti diselesaikan, sebelum akhirnya tubuh mendapatkan haknya untuk baring dan kaki untuk selonjoran. Iya saya paham. Hanya saja, berangkat dari kepenatan harian yang sudah menahun, membuat seorang ibu seakan-akan merasa punya alasan, kenapa buah hatinya mesti segera disekolahkan. Sudah bosan di rumah Biar belajar bergaul Menstimulus berbicara Belajar sharing dan bermain bersama Anaknya sudah minta dll, dll... Sebetulnya, jika ditanya, terutama pada ibu yang menyekolahkan anaknya diusia 3th atau sebe...